Hukum Islam di Malaysia



Ajaran Islam pada hakekatya terdiri dari dua ajaran pokok. Pertama ajaran Islam yang bersifat absolut dan permanen. Kedua ajaran Islam yang bersifat relatif dan tidak permanen, dapat berubah dan diubah-ubah. Termasuk kelompok kedua ini adalah ajaran Islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad. Hal ini menunjukkan terbukanya peluang tentang kemungkinan mengadakan perubahan dan pembaharuan ajaran Islam yang bersifat relatif, termasuk dalam bidang hukum.
Hukum Islam dalam pengertian inilah yang memberi kemungkinan epistimologi bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum secara berbeda-beda. Kenyataan ini tercermin pada kecenderungan sistem hukum di negara-negara muslim dewasa ini. Hal ini bukan saja karena sistem politik yang dianut, melainkan juga oleh faktor sejarah, sosiologi dan kultur  dari masin-masing negara tersebut.
Hukum Islam diberlakukan di suatu Negara, ketika Negara itu memiliki mayoritas penduduk muslim dan budaya awal yang berkembang adalah Islam. Jika kedua unsur ini ada kemungkinan besar Negara tersebut akan efektif menjalankan hukum Islam. Sebagai contohnya, Malaysia merupakan salah satu negara yang mempunyai posisi cukup penting di dunia Islam karena kiprah keislamannya. Berbagai proses Islamisasi di negeri jiran ini tentu tidak terjadi begitu saja, melainkan didahului oleh pencarian dan pergulatan yang panjang, meskipun penduduknya tidak sebanyak penduduk di Indonesia, bahkan hampir separuh dari keseluruhan warganya adalah non muslim yang didominasi oleh etnik Cina dan India. Namun  demikian Malaysia telah tampil di pentas dunia internasional dengan nuansa serta simbol Islam yang begitu melekat, termasuk dalam kebijakan perundang-undangan banyak diwarnai oleh jiwa keislaman. Oleh karena itu, hokum Islam di Malaysia cukup menarik untuk di bahas.


Pembahasan

  1. Seputar mengenai Malaysia
Malaysia adalah sebuah negara federasi yang terdiri dari tiga belas negara bagian dan tiga wilayah persekutuan di Asia Tenggara dengan luas 329.847 km persegi. Ibukotanya adalah Kuala Lumpur, sedangkan Putrajaya menjadi pusat pemerintahan persekutuan. 
Penduduk Malaysia terdiri dari berbagai kelompok suku, dengan Suku Melayu sejumlah 50,4% menjadi ras terbesar dan bumiputra/suku asli (aborigin) di Sabah dan Sarawak sejumlah 11% keseluruhan penduduk. Menurut definisi konstitusi Malaysia, orang Melayu adalah Muslim, menggunakan Bahasa Melayu, yang menjalankan adat dan budaya Melayu. Oleh karena itu, secara teknis, seorang Muslim dari ras manapun yang menjalankan kebiasaan dan budaya Melayu dapat dipandang sebagai Melayu dan memiliki hak yang sama ketika berhadapan dengan hak-hak istimewa Melayu seperti yang dinyatakan di dalam konstitusi. Melebihi separuh bagian dari keseluruhan penduduk, bumiputra non-melayu menjadi kelompok dominan di negara bagian Sarawak (30%-nya adalah Iban), dan mendekati 60% penduduk Sabah (18%-nya adalah Kadazan-Dusun, dan 17%nya adalah Bajaus). Bumiputra non-Melayu itu terbagi atas puluhan kumpulan ras tetapi memiliki budaya umum yang sama. Hingga abad ke-20, kebanyakan dari mereka mengamalkan kepercayaan tradisional tetapi kini telah banyak yang sudah memeluk Kristen atau Islam. Masuknya ras lain sedikit banyak mengurangi persentase penduduk pribumi di kedua negara bagian itu. Juga terdapat kelompok aborigin dengan jumlah sedikit di Semenanjung, mereka biasa disebut Orang Asli.
23,7% penduduk adalah Tionghoa-Malaysia, sedangkan India-Malaysia sebanyak 7,1% penduduk. Sebagian besar komunitas India adalah Tamil (85%), tetapi berbagai kelompok lainnya juga ada, termasuk Malayalam, Punjab, dan Gujarat. Sebagian lagi penduduk Malaysia berdarah campuran Timur Tengah, Thailand, dan Indonesia. Keturunan Eropa dan Eurasia termasuk Britania yang menetap di Malaysia sejak zaman kolonial, dan komunitas Kristang yang kuat di Melaka. Sejumlah kecil orang Khmer dan Vietnam menetap di Malaysia sebagai pengungsi Perang Vietnam.
Sebaran penduduk sangat tidak merata, dengan lebih dari 17 juta penduduk menetap di Malaysia Barat, sedangkan tidak lebih dari 7 juta menetap di Malaysia Timur. Karena tumbuhnya industri padat tenaga kerja, Malaysia memiliki 10% sampai 20% pekerja imigran dengan besarnya ketidakpastian jumlah pekerja ilegal, terutama asal Indonesia. Terdapat sejuta pekerja imigran yang legal dan mungkin orang asing ilegal lainnya. Negara bagian Sabah sendiri memiliki hampir 25% dari 2,7 juta penduduknya terdaftar sebagai pekerja imigran ilegal menurut sensus terakhir. Tetapi, gambaran 25% ini diduga kurang dari setengah gambaran yang diperkirakan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Sebagai tambahan, menurut World Refugee Survey 2008, yang diterbitkan oleh Komisi Pengungsi dan Imigran Amerika Serikat, Malaysia menampung pengungsi dan pencari suaka mendekati angka 155.700. Dari jumlah ini, hampir 70.500 pengungsi dan pencari suaka berasal dari Filipina, 69.700 dari Myanmar, dan 21.800 dari Indonesia.[73] Komisi Pengungsi dan Imigran Amerika Serikat menamai Malaysia sebagai salah satu dari sepuluh tempat terburuk bagi pengungsi karena adanya praktik diskriminasi negara kepada pengungsi. Petugas Malaysia dilaporkan memulangkan pendatang secara langsung kepada penyelundup manusia pada 2007, dan Malaysia menugaskan RELA, milisi sukarelawan, untuk menegakkan undang-undang imigrasi negara itu[1].

  1. Peran Kerajaan dalam Penerapan Hukum Islam di Malaysia
Dalam penerapan hokum Islam di Malaysia, kerajaan merupakan bagian terpenting demi berlakunya hokum Islam di Malaysia. Tapi banyak pihak yang memandang negatif tentang peran kerajaan dalam menjalankan Hukum Islam di Malaysia.
1)        Pihak kerajaan tidak melakukan apa-apa inisiatif yang bermakna bagi memperbaiki status hukum Islam, sebaliknya hanya meneruskan dasar sekularisme yang diwarisi daripada zaman penjajah British.
2)        Dasar pembangunan hukum Islam di Malaysia menafikan sumbangan bermakna yang sepatutnya dimainkan oleh sarjana-ulama Islam. Atas dasar ini, pihak kerajaan memang memusuhi ulama, yang menyebabkan elemen keberkatan Allah akan semakin jauh dan seterusnya bakal menjemput kemurkaan Allah.
3)        Pihak kerajaan terlalu akur dan takut dengan tuntutan golongan bukan Islam di Malaysia sehingga tidak sanggup mengelola agama Islam itu sendiri dengan baik.
Berikut adalah asumsi pro dan kontra tentang hokum Islam di Malaysia:
Pertama, paradigma integralistik (unified paradigm) yang menganggap peranan agama dan negara mesti bersatu di dalam menguatkuasakan sistem perundangan Islam. Ketua negara adalah merupakan pemegang kekuasaan agama dan politik sekali gus berasaskan kepada konsep kedaulatan tuhan (divine sovereignty) sepenuhnya. Atas dasar ini sebarang bentuk perundangan Islam yang dijalankan oleh pihak kerajaan wajib ditaati oleh semua rakyat jelata, dan sekiranya timbul penentangan ataupun kritikan terhadap sistem perundangan Islam yang dikuatkuasakan akan dianggap seperti mencabar kedaulatan tuhan sendiri.
Kedua, paradigma Sekularistik (Secularistic paradigm) yang menolak sama sekali konsep penyatuan antara agama dan politik. Ianya menolak konsep yang dibawa oleh ajaran pokok Islam tentang kepentingan dunia dan akhirat. Mengikut paradigma ini, sembarang urusan negara yang digolong dalam urusan politik perlu dipisahkan daripada kepentingan agama, sekali gus menolak pertimbangan agama di dalam menentukan sesuatu dasar negara. 
Ketiga, paradigma simbiotik (Symbiotic paradigm) yang menganggap memang wujud hubungan timbal balik dan saling memerlukan di antara Islam dan negara. Dalam hal ini, agama memerlukan negara kerana hanya dengan fungsi negara sesuatu agama dapat berkembang dengan cukup berkesan. Sebaliknya, negara juga amat memerlukan agama kerana dengan agama sesuatu negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual[2].
  1.  Penerapan Hukum Islam di Malaysia
Upaya melaksanakan hukum Islam selain bidang ibadah dan kekeluargaan (perkawinan, perceraian, kewarisan) di negara-negara Asia Tenggara saat ini merupakan fenomena kultural umat yang latar belakangnya dapat dilihat dari berbagia segi. Diantaranya ialah bahwa hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup di dalam masyarakat yang beragama Islam di Asia Tenggara, karena hukum Islam berkembang bersamaan dengan masuknya Islam di kawasan ini.
Sebagai hukum yang hidup yang inheren dalam kehidupan umat Islam, maka hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan umat, sehingga hukum Islam tidak lagi dirasakan sebagai norma-norma hukum yang dipaksakan dari luar diri masing-masing pemeluknya[3].
Jika diamati, maka implementasi hukum Islam di Malaysia melewati tiga fase, masing-masing periode Melayu, penjajahan Inggris, serta fase kemerdekaan. Kodifikasi hukum paling awal termuat dalam prasasti  Trengganu yang di tulis dalam aksara Jawi, memuat daftar singkat mengenai sepuluh aturan dan bagi siapa yang melangarnya akan mendapat hukuman. Selain kodifikasi hukum tersebut, juga terdapat buku aturan hukum yang singkat, salah satu diantaranya adalah Risalah Hukum Kanun atau buku Hukum Singkat Malaka yang memuat aturan Hukum Perdata dan Pidana  Islam. Pada fase penjajahan Inggris, posisi hukum Islam sebagai dasar negara berubah. Administrasi hukum Islam dibatasi pada hukum keluarga dan beberapa masalah tentang pelanggaran agama. Pada fase awal kemerdekaan Malaysia, pengaruh serta pakar hukum Inggris masih begitu kuat, namun di beberapa negara bagian telah dibuat undang-undang baru mengenai administrasi hukum Islam. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pendasaran konstitusi serta wewengan pada Majelis Agama Islam, Departemen Agama, dan Pengadilan Syari’ah.
Pada dekade 80-an telah diupayakan perbaikan hukum Islam di berbagai negara bagian. Untuk itu, sebuah konferensi nasionasl telah diadakan di Kedah untuk membicarakan hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum pidana. Maka dibentuklah sebuah komite yang terdiri dari ahli hukum Islam dan anggota bantuan  hukum, kemudian mereka dikirim ke berbagai negara Islam untuk mempelajari hukum Islam dan penerapannya di negara-negara tersebut. Sebagai wujud perhatian pemerintah federal kepada hukum Islam, maka pada saat yang sama dibentuk beberapa komite diantaranya bertujuan untuk menelaah struktur, yuridiksi, dan wewenang Pengadilan Syari’ah dan merekomendasikan pemberian wewenang dan kedudukan yang lebih besar kepada hakim Pengadilan Syaria’ah, mempertimbangkan suatu kitab UU hukum keluarga Islam yang baru guna mengantikan yang lama sebagai penyeragaman  UU di negara-negara bagian. Dan salah satu komite juga mempertimbangkan proposal adaptasi hukum acara  pidana dan perdata bagi Pengadilan Syari’ah. Sebagai hasilnya, beberapa UU telah ditetapkan yaitu :
Ø  Administrasi Hukum Islam.
    1. UU Administrasi Pengadilan Kelantan, 1982.
    2. UU Mahkamah Syari’ah Kedah, 1983.
    3. UU Administrasi Hukum Islam Wilayah Federal, 1985.
    4. Hukum Keluarga
      1. UU Hukum Keluarga Islam  Kelantan, 1983.
      2. UU Hukum Keluarga Islam Negeri Sembilan, 1983.
      3. UU Hukum Keluarga Islam Malaka, 1983.
      4. UU Hukum Keluarga Islam Selangor, 1984.
      5. UU Hukum Keluarga Islam  Perak ,1984.
      6. UU Hukum Keluarga Islam Kedah, 1984.
      7. UU Hukum Keluarga Islam  Wilayah Federal, 1984.
      8. UU Hukum Keluarga Islam Penang, 1985.
      9. UU Hukum Keluarga Islam Trengganu, 1985.
      10. Acara Pidana.
        1. UU Acara Pidana Islam Kelantan ,1983.
        2. UU Hukum Acara Pidana Islam Wilayah Federal.
        3. Acara Perdata.
          1. UU Hukum Acara Perdata Islam Kelantan 1984.
          2. UU Hukum Acara Perdata Islam Kedah , 1984.
        4. Pembuktian.
Ø  UU Pembuktian Pengadilan Syari’ah Wilayah Federal.
1.      Baitul Mal: UU Baitul Mal Wilayah Federal.
Hukum Islam di Malaysia dapat di kelompokan menjadi dua, ada yang menyangkut persoalan perdata dan ada yang menyangkut persoalan pidana[4].
Dalam bidang perdata meliputi :
  1. Pertunangan, nikah cerai, membatalkan nikah atau perceraian.
  2. Memberi harta benda atau tuntutan terhadap harta akibat perkara di atas.
  3. Nafkah orang di bawah tanggungan, anak yang sah, penjagaan dan pemeliharaan anak.
  4. Pemberian harta wakaf.
  5. Perkara lain yang diberikan kuasa berdasarkan undang-undang.
Dalam persoalan pidana mengatur hal sebagai berikut:
  1. Penganiayaan terhadap istri dan tidak patuh terhadap suami.
  2. Melakukan hubungan seks yang tidak normal.
  3. Penyalah-gunaan minuman keras.
  4. Kesalahan terhadap anak angkat.
  5. Kesalahan-kesalahan lain yang telah diatur lebih jauh dalam undang-undang.
Walaupun beberapa masalah telah diatur dalam hukum Islam di Malaysia, namun hukum Inggris tetap diberlakukan pada sebagian besar legislasi dan yudisprudensi. UU Hukum Perdata 1956 menyebutkan bahwa jika tidak didapatkan hukum tertulis di Malaysia, Pengadilan Perdata harus  mengikuti hukum adat Inggris atau aturan lain yang sesuai. Dengan demikian hukum Islam hanya berlaku pada wilayah yang terbatas, yaitu yang berhubungan dengan keluarga dan pelanggaran agama. Dalam hukum keluarga, pengadilan perdata tetap memiliki yuridiksi, seperti dalam kasus hak milik, warisan, serta pemeliharan anak. Bila terdapat pertentangan antara pengadilan perdata dan syari’ah, maka kewenagan peradilan perdata lebih diutamakan.
Melihat kenyataan tersebut di atas, eksistensi hukum Islam di Malaysia sesungguhnya belum berlaku secara menyeluruh terhadap semua penduduk negara tersebut. Hal ini karena masih adanya pengaruh hukum koloni Inggris yang pernah menjajah Malaysia. Jadi  hukum Islam  di Malaysia masih membutuhkan penelaahan secara menyeluruh  dan legislasi untuk membuat hukum Islam di Malaysia menjadi efektif.



Simpulan

Meskipun Malaysia dianggap sebagai sebuah negara muslim yang menyatakan Islam sebagai agama resmi, tapi sesungguhnya adalah sebuah negara pluralitas yang sekelompok minoritas penting penduduknya adalah non muslim.
Malaysia merupakan kerajaan Federal yang terdiri dari tiga belas negara bagian. Sebelas diantaranya terletak di Malaysia Barat  dan  dua di Malaysia Timur. Jika dilihat dari sejarahnya maka kedatangan Islam dalam proses Islamisasi Malaysia melalui jalur perdangan para pedangan muslim dan mubaliq dari Arab dan Gujarat. Pada awal abad 15 berdiri kerajaan Islam Malaka dengan rajanya Parameswara Iskandar Syah, dengan undang-undangnya yang disebut undang-undang Malaka.
Walaupun hokum Islam di berlakukan di Malaysia tapi tidak sepenuhnya berjalan di Malaysia. Jadi apakah hokum Islam di Malaysia berlaku secara nasional atau hanya sebagai hokum administrasi kerajaan dan symbol Negara.
Implementasi penerapan hukum Islam nampak dari kodifikasi yang dilakukan yang meliputi tiga fase yaitu periode Melayu, penjajahan Inggris, dan fase kemerdekaan. Pada dasarnya penerapan hukum Islam di Malaysia belum berlaku secara  menyeluh terhadap semua penduduk. Hal ini desebabkan karena adanya beberapa faktor penghambat yaitu:
  1. Adanya pluralisme agama.
  2. Adanya pengaruh penjajahan.
  3. Adanya pengaruh sekularisasi dan modernisasi.



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Malaysia
[2] http://ummatanwasatan.net/2010/02/peranan-kerajaan-di-dalam-pembangunan-hukum-islam-perspektif-malaysia/
[3] Sudirman Tebba, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya (Cet. I; Bandung: t.p., 1993), hlm. 13.
[4] Fahim Abdullah bin Abdul Rahman, “Mahkamah Syari’ah Islam dan Permasalahannya” dalam Mimbar Hukum no.38 Tahun IX, Jakarta ( Al-Hikmah, 1991), hlm. 96.

Comments

Popular Posts