Orientalis Ignas Goldziher & H. A. R. Gibb
Pendahuluan
Orientalisme adalah pemikiran yang mencerminkan berbagai studi
ketimuran yang Islami, Yang dijadikan obyek studi mencakup peradaban, agama,
seni, sastra, bahasa dan kebudayaan. Gelombang pemikiran ini telah memberikan
andil besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam,
dengan mengungkapkan kemunduran pola fikir dunia Islam dalam rangka pertarungan
peradaban antara Timur (Islam) dengan Barat.
Studi Islam tidak hanya digeluti oleh sarjana-sarjana muslim saja,
baik yang konsen terhadap kajian Islam normatif atau Islam histories. sampai
era saat ini para sarjana Barat juga ikut andil untuk mengkajinya. Sebagian
besar fokus kajian yang mereka lakukan lebih condong pada kajian Islam
historisnya. Banyak karya ilmuwan Barat yang menuliskan tentang sejarah Islam,
sejarah Nabi Muhammad, juga karya yang mereka hasilkan adalah terjemah al-Quran
kedalam bahasa mereka. Hasil karya mereka tidak lepas dari latar belakang,
metode, dan pendekatan yang mereka gunakan, sehingga hasilnyapun berbeda-beda.
Setelah kemunculanya, Orientalis dapat digolongkan sebagai berikut[1]:
1.
Orientalis Obyektif: Hardrian
Roland, Johann J. Reiske, Silvestre de Sacy, Thomas Arnold, Gustac le Bon, Z.
Honke, Jakck
Burke, Anne Marie Simmel, Thomas Carlyle, Renier Ginaut Dr. Granier dan Goethe, dll.
2.
Orientalis Fanatik: Goldziher, J.
Maynard, S.M. Zwemer, G. Von Grunebaum, A.J. Wensinck, K. Cragg, L. Massignon,
D.B.Mac Donald, M. Green, D.S. Margoliouth, A.J. Arberry, H.A.R. Gibb, J Schacht, R.A.Nicholson,
Henry Lammens, Alfred Guillaume, dll.
Pembahasan
Untuk pembahasan bab saat ini kami
akan membahas dua tokoh Orientalis yang karya-karyanya sangat berbahaya bagi
umat Islam (Goldziher dan H.A.R. Gibb ).
A.
Biografi
Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher (1850-1921) adalah satu-satunya orientalis yang
sempat belajar secara resmi di Universitas al-Azhar,Mesir.Ia bukan saja aktif
menghadiri ‘tallaqi’ dengan beberapa masyayikh di Al-Azhar, bahkan ia pernah
ikut shalat Jumat di sebuah mesjid di Mesir.
Ignaz Goldziher seorang Yahudi yang lahir di Hungaria 1850. Ia
terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Dalam usia lima tahun, ia
mampu membaca teks Bibel “asli” dalam bahasa Ibrani. Pendidikan S1-nya bermula
pada usia 15 tahun di Universitas Budapest, Hungaria. Ia sangat terpengaruh
oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913),seorang pakar
tentang Turki.
Setelah menyelesaikan studinya di Budapest, Goldziher melanjutkan
studinya di Universitas Leipzig, Jerman. Ia meraih gelar doktor dari
universitas tersebut ketika berusia 19 tahun. Gelar itu diperolehnya setelah
dibimbing selama dua tahun oleh Heinrich Fleisher, orientalis Jerman terkemuka.
Setelah dari Leipzig, Goldziher melanjutkan penelitiannya di Universitas
Leiden, Belanda, selama setahun. Selanjutnya, pada usianya yang ke-21, ia
pulang ke kampung halamannya dan menjadi dosen privat (Privatdozent) di
Universitas Budapest, Hunagria.
Sebagai “adat” para orientalis untuk mengunjungi dan menetap di negara-negara
Muslim supaya secara langsung dapat berinteraksi dengan para ulama, Goldziher
juga berkunjung ke Syria dan Mesir pada 1873-1874. Di Mesir, ia dikenalkan oleh
Dor Bey,seorang pejabat keturunan Swiss yang bekerja di Kementrian Pendidikan
Mesir. Melalui Dor Bey,Goldziher diperkenalkan kepada Riyad Pasha, Menteri
Pendidikan Mesir.
Setelah berkenalan beberapa lama dengan menteri pendidikan Mesir,
Goldziher mengemukakan hasratnya untuk belajar di Universitas al-Azhar. Atas
rekomendasi Riyad Pasha lah, Syakhul al-Azhar, ‘Abbasi,Mufti Masjid al-azhar
terbujuk. Setelah bertemu dengan Goldziher yang saat itu mengaku bernama Ignaz
al-Majari(Ignaz dari Hungaria) dan mengaku dirinya “Muslim” (namun dalam makna
percaya kepada Tuhan yang satu, bukan seorang musyrik) , serta dengan
kelihaiannya berdiplomasi, maka Goldziher bisa “menembus” al-Azhar. Ia menjadi
murid beberapa masyayikh al-Azhar,seperti Syaikh al-Asmawi, Syaikh Mahfudz
al-Maghribi, Syaikh Sakka dan beberapa syaikh al-Azhar lainnya.
Setelah sukses “bersandiwara,” Goldziher kembali ke Budapest. Ia
menjabat sebagai Sekretaris Zionis Hungaria. Bagaimanapun, kajian tentang Islam
lebih mewarnai kehidupannya dibanding keterlibatannya di bidang politik.
Goldziher menulis banyak karya tentang studi Islam. Ia menulis misalnya, Muhammedanisnche
Studien (Studi Pengikut Muhammad, 2 jilid,1889-1890); Die Riechtungen
der islamischen Koranauslegung (Mazhab-Mazhab Tafsir dalam
Islam,Leiden,1920) dan masih banyak lagi karya lainnya.
Pandaanganya
terhadap Islam:
Dia adalah orang hongaria yag
terkenal permusuhanya terhadap islam. Tulisan atau karyanya sangat berbahaya bagi
umat islam, dia juga termasuk sebagai anggota redaksi Ensiklopedia Islam.
Dia menulis tentang al-Qur’an dan al-Hadith dalam Salah satu bukunya Sejarah
Aliran Tafsir Islam yang telah diterjemahkan dalam bahasa Arab.
Dalam bukunya al-Aqidah wa
al-Shari’ah fi al-Islam, Goldziher melakukan tuduhan-tuduhan yang sangat
berbahaya diantaranya sebagai berikut[2]:
1.
al-Qur’an
adalah kitab ciptaan Muhammad
2.
Hadith
Nabawi adalah buatan para sahabat, tabi’in dan imam-imam madhab fiqh
3.
Undang-undang
Islam bertumpu pada undang-undang Romawi
4.
tentara
Islam yang menyebarkan kebenaran, kebaikan dan keadilan ke seluruh penjuru
dunia, tidak didorong oleh factor iman, tapi karena krisis ekonomi dan
kelaparan.
Pengetahuanya tentang hadist dari segala seginya membuatnya telah
berhasil meragukan otentisitas haditst dengan dilengkapi studi-studi ilmiah
yang dia lakukan. Menurutnya hadist adalah hasil dari reaksi perkembangan Islam
baik sebagai al-Din atau perkembangan sejarahnya maupun pergolakan social umat
Islam. Hadits yang dalam konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan
perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad
Saw. menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai
Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah,
hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai
asli dari Muhammad atau generasi Sahabat Rasul[3].
Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini
otentisitas hadits sudah ada pada masa Nabi, Shahabat ataupun masa
tabi’in. Hadits tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat
Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Dari berbagai analisa dan pemikirannya, Ignaz Goldziher telah
berhasil melahirkan faham sesat dalam Islam yaitu Inkar Sunnah (inkar
hadits), dan sekarang kaki tangan Goldziher sudah tersebar dimana-mana di dunia
ini terutama sekali sarjana-sarjana Islam yang mengecap pendidikan di perguruan
tinggi yang dikelola oleh jaringan zionis internasional. Di Mesir ada Ali Hasan
Abdul Qadir, Dr. Thoha Husein, Dr. Ahmad Amin dan Abu Rayyah, di Amerika faham
ini disebarkan oleh Dr. Rasyad Khalifah dan di Indonesia oleh Dr. Snouck
Hourgrounje dan kaki tangannya seperti Habib Abdurrhman Az-Zahir, Sayid Osman
bin Yahya dan Tengku Nurdin.
Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam’ Goldziher
banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad saw. Prof. Ahmad
Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada halaman 12,
Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan
pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad. hal ini diketahui dan
ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan
lain-lainnya[4].
B.
Biografi H. A. R. Gibb
Dilahirkan pada 2 januari 1895 di Alexander, Egypt dari
pasangan Alexander Crawford Gibb dan Jane Ann Gardner. Keduanya dari Scotland
yang kemudian mengambil teaching position di Alexandria. Hamilton
belajar di Scotland untuk pendidikannya pada 5 periode. Setelah 4 tahun sekolah
private, ia memulai sekolah formal di Royal High School, Edinburgh pada
tahun1904-1912 dengan fokus pada klasikal. Pada 1912, ia mendaftar di Edinburgh
University bergabung pada jurusan bahasa semitik, yakni Hebrew, Arabic, dan
Aramaic.
Selama perang dunia I, Gibb memutus
studinya di Edinburhg University karena mengabdi pada resimen Inggris di
prancis (1917). Ia mengabdi pula di Itali sebagai officer komisi sejak umur 19
tahun sampai genjatan senjata di Jerman pada 1918. Karena pengabdiannya itu ia
kemudian dianugrahi war privilege berupa Master of Art.
Setelah perang, Gibb melanjutkan
belajar tentang Arab di School of Oriental and African Studies, London
University. Memperoleh gelar MA tahun 1922 dengan tesis “Arab Conquests of
Central Asia”. Dari tahun 1921 sampai 1937 mengajar tentang Arab pada School of
Oriental Studies dan menjadi profesor di sana pada tahun 1930. Selama waktu
itu, ia menjadi editor Encyclopaedia of Islam.
Pada 1937, Gibb dinobatkan oleh D. S.
Margoliouth sebagai Laudian Professor of Arabic dengan kenggotaan pada
St John’s College, Oxford, dimana ia tinggal untuk 8 tahun. Bukunya, Gibb’s
Mohammedanism dipublikasikan tahun 1949, menjadi teks dasar yang digunakan
oleh pelajar barat tentang islam. Di tahun 1955, Gibb menjadi “The James
Richard Jewett Professor of Arabic” dimana gelar kehormatan ini dianugrahkan
kepada ilmuwan pilihan, "working on the frontiers of knowledge, and in
such a way as to cross the conventional boundaries of the specialties."
Belakangan, selain sebagai profesor di Harvard University, ia menjadi direktur
Harvard Center For Middle Eastern Studies dan memimpin “The Movement in
American Universities” untuk mengatur pusat pengkajian wilayah, besama para
pengajar, peneliti, dan pelajar yang berbeda disiplin dalam studi budaya dan
masyarakat sebuah wilayah di dunia[5].
Pandanganya
terhadap Islam:
Dia seorang Orientalis Inggris
terbesar, anggota lembaga bahasa di Mesir, dosen studi Islam dan Arab di
Universitas Hartvard (Amerika) dan juga anggota redaksi ensiklopedi Islam.
Beberapa karyanya isinya sangat berbahaya, diantaranya adalah Jalan Islam yang
ditulis bersama Orientalis lain yang kemudian telah diterjemahkan dalam bahasa
Arab.
Dalam bukunya Bunyat al-Fikr al-Din fi al-Islam, Gibb
mengemukakan bahwa sesungguhnya bangunan pemikiran keagamaan dalam Islam
sebagian mengacu pada pemikiran jahiliyah tentang kepercayaan mereka terhadap
roh-roh halus.semua itu diambil Muhammad yang kemudian diubahnya, selanjutnya
digunakan untuk menghiasi tata aturan agama Islam serta untuk menegakkan Aqidah
dan pemikiran keagamaan jika hal itu dipandang sesuai. Ketika Muhammad hendak menyebarkan
agamanya kepada bangsa-bangsa di luar arab, maka dimasukanlah unsur-unsur tata
aturan jahiliyah itu kedalam al-Qur’an[6].
Selanjutnya para ulama berusaha keras untuk mengembangkan ajaran dan
hukum yang didasarkan al-Qur`an. Untuk itu, mereka memerlukan bahan tambahan
untuk mengintepretasinya, yaitu dengan perkataan Nabi, prilakunya, dan
penetapan darinya, yang sekarang dikenal dengan sebutan hadits. Menurut Gibb,
hadits hanyalah cerminan pemikiran Muhammad. Dan karena hadits digunakan untuk
mengesahkan pandangan ulama masa pertama, hal itu menimbulkan asumsi bahwa ia
tidaklah otentik.
Dalam bukunya Mohammedanism dia menyebutkan kecintaan dan
kemauan para sahabat terhadap Muhammad bukanlah di dasari oleh ajaran keagamaan
dan statusnya sebagai nabi melainkan atas dasar kualitas moral yang di miliki
Muhammad[7].
Simpulan
Para
sarjana muslim dan umat muslim sendiri pada umumnya bersikap berbeda dalam
memandang kegiatan para orientalis. Diantaranya ada yang memandang murni kajian
keilmuan tapi disisi lain lebih banyak yang menganggap sebagai sebuah
propaganda melawan Islam. Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam
berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini. Orientalisme itu lebih merupakan
gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur,
orientalisme itu sendiri telah menghasilkan gambaran yang salah tentang
kebudayaan Arab dan Islam, meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa
kepentingan yang jelas, tapi secara umum berfungsi untuk tujuan politik.
Harus diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan
penafsiran Islam, para oritentalis banyak yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah
lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan
lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh karena
itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak perlu apresiatif yang
berlebihan. Umat Islam perlu bersikap kritis dan profesional dalam mengkaji dan
menanggapi karya-karya orientalis itu.
[1]
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia, Gerakan
Keagamaan & Aliran Pemikiran. [online], http://members.fortunecity.com/sakinahonline/alislam/www.alislam.or.id/aliranislam/orientalisme.html
[2] (Ahmad Muhammad Jamal),
Achmad Zuhdi DH. Pandangan Orientalis Barat Tentang Islam. (Surabaya: PT. Karya
Pembina Swajaya, 2004), 142.
[4] Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, [online], http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya,
27 Desember 2010.
[5] Zam Anharaz. Hamilton Alexander Rossken Gibb. [online], http://zamanharaz.blogspot.com/2011/12/hamilton-alexander-rossken-gibb.html.
[6] (Ahmad Muhammad Jamal),
Achmad Zuhdi DH. Pandangan Orientalis Barat Tentang Islam. (Surabaya: PT. Karya
Pembina Swajaya, 2004), 141.
Comments