SISTEM PEMERINTAHAN PAKISTAN
A. System
Pemerintahan Presidential
Sistem
Pemerintahan sangat menentukan bagaimana suatu negara di jalankan dalam
organisasi yang sangat besar seperti negara. Rangkaian kerjanya tentu lebih
kompleks. Semakin kompleks rangkaian kerja suatu negara, maka negara tersebut
sangat memerlukan suatu sistem pemerintahan, karena tidak terbayangkan suatu
organisasi yang besar seperti negara dapat menjalankan segenap tugasnya secara
baik tanpa adanya suatu sistem. Bisa jadi masing masing komponen dalam negara
akan bekerja sendiri sendiri tanpa koordinasi, tanpa kerjasama, dan tanpa
kesatuan. Kerumitan yang terjadi sungguh sulit dibayangkan.
Secara
umum ada dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan Parlementer dan
sistem pemerintahan Presidensil. Selain itu ada pula sistem pemerintahan semi
presidensil yang menggabungkan keduanya. Salah satu negara yang berada di Asia
Selatan yaitu Pakistan memulai masa kemerdekaannya dengan sisterm pemerintahan
parlementer mirip dengan sistem pemerintahan di Inggris. Penerapan sistem
parlementer ini didasarkan atas UUD yang berlaku selama 2 tahun.
Pakistan
(Islamic Republic of Pakistan) adalah negara yang merdeka pada tanggal 14
agustus 1947. Sebelumnya Negara ini bergabung dengan India kemudian pada 14
agustus 1947, Pakistan memisahkan diri dari India dan mengungumkan
kemerdekaannya. Pada abad ke-8 agama Islam masuk ke anak benua India dan
sebagian dari wilayah Pakistan sekarang, selama masa penjajahan Ingris pada
akhir abad ke-18, dulu dikuasai oleh kaum muslimin. Bersamaan dengan bangkitnya
perjuangan rakyat India melawan penjajahan Inggris, pada tahun 1906 terbentuk
partai “Liga Muslim” yang diketuai Muhammad Ali Jinah dan bertujuan untuk
membentuk pemerintahan islami. Negara Muslim terbentuk sejak pemerintahan
pertama yaitu di bawah pimpinan Muhammad Ali Jinnah dan Liaquat Ali Khan.
Partai
ini kemudian secara bertahap mampu menarik kekuatan kaum muslim dan akhirnya
terbentuklah negara Pakistan. Awalnya Pakistan terdiri dari dua wilayah yang
terpisah, yaitu timur dan barat india. Namun, karena ketidakpuasan rakyat
Pakistan Selatan atas pemerintahan pusat, akhirnya Pakistan Selatan memisahkan
diri dan membentuk negara Bangladesh pada tahun 1971. Pakistan sampai tahun
1970 membentuk pemerintahan militer dan kemudian berubah bentuk menjadi
Republik Islam Pakistan. Pakistan memiliki luas wilayah lebih dari 803 ribu
kilometer persegi dan berbatasan dengan Iran, India, Afganistan dan China.
Sejak
1947 hingga 1956, pakistan menjadi dominan di Common Wealth of Nation. Negara
republikpun dideklarasikan pada tahun 1956 dan kekuasaan di alihkan pada Ayub
Khan (1958 – 1969), yang menjabat menjadi presiden saat kondisi yang tidak
stabil. Pada saat perang kedua dengan Moja (1965) yang memimpin adalah Yahya
Khan (1969 – 1971) dan dalam perang itu kurang lebih 500.000 orang mati di
Pakistan Timur.
Di
bawah Jenderal Ayub Khan dimulailah suatu sistem pemerintahan presidensil
dengan badan esekutif yang kuat. Penerapan sistem presidensil tersebut,
didasarkan atas UUD 1962 yang berlaku sampai tahun 1969. menurut UUD tersebut,
badan eksekutif terdiri atas presiden yang beragama islam beserta
materi-materi. Para menteri adalah pembantu presiden yang tidak boleh merangkap
anggota legislatif. Presiden mempunyai wewenang untuk menjatuhkan veto atas
rancangan UU yang telah diterima oleh badan legislatif. Namun veto dapat
dibatalkan , jika rancangan UU tersebut diterima oleh mayoritas 2/3 suara.
Presiden
menjalankan pemerintahan bersama dengan perdana menteri. Ada pembagian tugas
antara presiden yang mngelola urusan luar negeri dan perdana menteri yang
mengurus persoalan dalam negeri. Pakistan mempunyai empat wilayah federal (
Balochitan, Nort-West Frontier Province (NWFP), Punjab dan Sindh), Territorial
Utama (Islamabad) dan tiga area federasi suku (Federally Administered Tribal
Areas, Azad Kashmir dan area Northern.
Setiap
provinsi mempunyai sistem pemerintahan yang sama, dan setiap provinsi mempunyai
kepala pemerintahan masing masing yang dapat dipilih secara langsung dalam
sebuah rapat provinsi dan nantinya dapat menjadi perdana menteri. Permerintah
tiap provinsi ditetapkan oleh Presiden.
Sistem
presidensil merupakan sistem pemerintahan di mana kepala pemeriintahan dipegang
oleh presiden (yang merupakan kekuasaan nominal) dan memegang kekuasaan
politik. Presiden sebagai kepala eksekutif tidak bertanggung jawab kepada parlemen
(legislatif). Presiden dipilih bukan oleh parlemen, tetapi dipilih secara
langsung oleh pemilih (rakyat), presiden bukan merupakan bagian parlemen, dia
tidak dapat diberhentikan dari jabatannya oleh parlemen,dan presiden tidak
dapat membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan umum. Namun apabila
presiden membubarkan badan legislatif, presiden juga harus mengundurkan diri
dalam waktu empat bulan dan mengadakan pemilihan umum baru. Sistem presidensil
disebut juga dengan istilah “The Presidensial Type of Government” atau Non
Parliamentary System”.
Dalam keadaan
darurat, presiden berhak mengeluarkan ordinansi yang harus diajukan pada badan
legislatif kalau melanggar UUD dalam hal berkelakuan buruk, dengan ¾ jumlah
suara legislatif. Sistem pemerintahan presidensil di Pakistan hanya berlasung
1962 – 1969, sekarang negera tersebut kembali ke sistem parlementer kabinet.
B.
Tantangan
Demokrasi di Pakistan
Kemenangan
partai oposisi, PPP dan PML-N, dalam pemilu terakhir di Pakistan menandakan
akhir rezim diktator Musharraf. Greg Sheridan Blog, analis politik luar negeri
The Australian, menyebutnya a democratic surprise.
Namun,
pertanyaan yang belum terjawab adalah soal masa depan demokrasi dan determinasi
kalangan ekstremis dalam ruang publik. Benazir Bhutto (2008) dalam
Reconciliation: Islam, Democracy and The West menyebutkan, masa depan Pakistan
ditentukan pertarungan kediktatoran versus demokrasi dan ekstremisme versus
moderasi. Untuk membangun demokrasi, pilihan harus jelas, yaitu demokrasi dan
moderasi, bukan kediktatoran dan ekstremisme.
C.
Dua tantangan
Ihwal
demokratisasi setidaknya ada dua tantangan menonjol, yaitu tingginya angka
kemiskinan dan lemahnya sistem politik. Di bawah rezim Pervez Musharraf, angka
kemiskinan ditengarai mengalami peningkatan sekitar 12 persen. Ini menunjukkan
adanya relasi obyektif antara kediktatoran dan meningkatnya angka kemiskinan.
Lebih-lebih, tidak adanya jaminan keamanan menyebabkan kemiskinan menjadi fakta
tidak bisa dihindari.
Fakta
kemiskinan di tingkat akar rumput berbeda jauh dengan fakta para politisi yang
menikmati kekayaan secara melimpah. Para politisi, yang sejatinya merupakan
representasi rakyat dalam menyuarakan hak-hak mereka, berubah menjadi kelompok
konglomerasi baru yang hanya menjadikan politik sebagai kendaraan untuk
memperkaya diri.
Institusi
politik bermetamorfosis menjadi lembaga pemiskinan yang kian telanjang dengan
cara mengabaikan hak-hak sipil dan ekonomi mereka. Tidak sedikit politisi yang
ditetapkan terlibat praktik korupsi, tetapi amat jarang dari mereka yang
mendapat hukuman setimpal, bahkan mereka dengan mudah melakukan eksodus dan
menikmati udara segar di negara maju dengan bergelimangan harta.
Militer
merupakan salah satu kekuatan yang sering menghambat demokratisasi.
Intervensinya dalam ranah politik, misalnya melalui kudeta sebagaimana
dilakukan Musharraf terhadap Nawaz Sharif, merupakan praktik kediktatoran yang
senantiasa mengancam pergantian kekuasaan. Militer sering mengambil alih kekuasaan
dengan dalih instabilitas dan perbaikan ekonomi.
Selain
itu, politik selalu dikuasai pemain lama. Tidak muncul wajah baru dari kalangan
muda yang benar-benar membawa obor perubahan dan pembaruan dalam ranah politik.
Karena itu, politik ada dalam lingkaran setan homo homini lupus.
D.
Institusionalisasi demokrasi
Benazir
Bhutto mengetengahkan perlunya pemikiran tentang institusionalisasi demokrasi
sebab kegagalan demokrasi di Pakistan secara umum terkait kelindan dengan
kegagalan dalam institusionalisasi demokrasi. Sementara di bawah alam sadar
publik, sistem diktator selama ini dianggap sebagai cara terbaik untuk
memulihkan ekonomi. Ironisnya, demokrasi dianggap tidak menjamin kesejahteraan.
Maka, wajah Pakistan di masa datang amat ditentukan dua partai oposisi, PPP dan
PML-N, sebagai pemenang urutan pertama dan kedua dalam pemilu terakhir. Kedua
partai itu harus mampu menjadikan demokrasi sebagai jalan mulus menerjemahkan
misi perubahan pada tataran praksis.
Sebagaimana
negara-negara Muslim lainnya, demokrasi di Pakistan amat ditentukan sejauh mana
kelompok keagamaan moderat mengambil peran yang semestinya dalam ruang publik.
Sejauh ini aneka kelompok yang mengusung pandangan ekstremistik mempunyai
militansi lebih menonjol daripada kalangan moderat. Apalagi kalangan ekstremis
sering menawarkan janji-janji surgawi jika diberi kesempatan dalam ruang
publik. Tidak sedikit dari mereka yang merelakan diri sebagai martir. Puluhan,
bahkan ratusan korban jatuh akibat bom bunuh diri. Untung, publik masih memberi
dukungan partai prodemokrasi. Dalam pemilu terakhir, MMA, partai yang
diasosiasikan dengan kalangan ekstremis, hanya mendulang enam kursi, kalah jauh
dengan perolehan kursi partai yang mengusung demokratisasi dan moderasi.
Tentu
saja hal itu merupakan modal politik amat besar untuk menyelamatkan Pakistan
dari kehancuran yang bersifat permanen, seperti dihadapi negara tetangganya,
Afganistan. Benar apa yang dikatakan Benazir Bhutto, yang dibutuhkan adalah
kerja keras dan kerja sama antara kelompok prodemokrasi dan promoderasi untuk
melakukan perubahan terukur dan dapat dirasakan oleh publik.
Comments