Abjad Arab dalam Penulisan Bahasa Melayu, 

Abjad Arab dalam Penulisan Bahasa Melayu
I.    Tulisan Arab-Melayu menjadi khazanah ilmu pengetahuan Islam di Indonesia.
Bahasa Arab tidak dapat dipisahkan dari Islam, bahkan bahasa ini sering disebut sebagai bahasa Islam. Penyebaran agama Islam ke berbagai penjuru dunia juga disertai dengan penyebaran bahasa Arab. Demikian pula yang terjadi di Nusantara. Penyebaran agama Islam di kawasan ini telah memengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakat, termasuk di bidang bahasa.
Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa di Nusantara, kegiatan kepenulisan dengan huruf Arab oleh masyarakat Melayu sudah berkembang pesat. Prof Dr Syamsul Hadi dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, mengatakan, penggunaan tulisan Arab Melayu atau Jawi sudah berkembang jauh sebelum orang-orang pribumi mengenal huruf Latin. Ia memperkuat pendapatnya dengan ditemukannya batu bersurat di Kuala Berang Terengganu (Malaysia) yang bertuliskan Arab Melayu pada tahun 1303 M. Menurutnya, inilah tulisan Arab Melayu tertua yang pernah ditemukan.
Penulisan bahasa Melayu dengan menggunakan abjad Arab dikenal dengan tulisan Jawi. Seni tulisan Jawi sudah dikenal berabad-abad lamanya di wilayah Nusantara. Kemunculannya terkait secara langsung dengan kedatangan agama Islam di Nusantara pada awal abad ke-13. Pada awalnya, tulisan Jawi adalah tulisan resmi bagi negara Brunei Darussalam. Baru dalam perkembangannya, tulisan ini mulai digunakan secara meluas di Malaysia, Filipina, dan Indonesia.
Menurut sejarawan berkebangsaan Inggris, WG Shellabear, orang Melayu menerima sIstem tulisan dan bacaan Arab Melayu ini secara langsung dari orang Arab. Orang Arab-lah yang mula-mula menggunakan sistem tulisan Arab untuk menulis bahasa Melayu yang seterusnya dikenal dengan nama tulisan Jawi.
Menurut guru besar Sastra Islam, Universitas Paramdina Mulya, Prof Dr Abdul Hadi WM, tulisan Jawi telah berkembang sejak zaman Kerajaan Islam Pasai, kemudian disebarkan ke Kerajaan Malaka, Kerajaan Johor, Kedah, dan Kerajaan Aceh. Bukti keberadaan tulisan Jawi dapat dijumpai pada Prasasti Batu Bersurat Terengganu yang terdapat di Kuala Berang, Terengganu, Malaysia. Tulisan Jawi yang terdapat pada batu ini dibuat pada tahun 702 H/1303 M atau jauh sebelum bentuk tulisan Latin dikenal secara luas. Tulisan Latin baru berkembang di wilayah ini pada akhir abad ke-19.
Pada zaman dahulu, tulisan Jawi memainkan peranan penting dalam masyarakat. Ia digunakan sebagai tulisan resmi dalam semua urusan kenegaraan, adat istiadat, dan perdagangan. Contohnya, digunakan dalam perjanjian-perjanjian penting antara pihak-pihak kerajaan Melayu dan bangsa-bangsa penjajah, seperti Portugis, Belanda, dan Inggris. Bahkan, naskah kemerdekaan negara Malaysia ditulis dalam tulisan Jawi. Penggunaan huruf Arab dalam penulisan bahasa Melayu telah digunakan secara luas di sejumlah wilayah di Tanah Air. Sebut saja di antaranya adalah Aceh, Riau, Sumatra Barat, dan beberapa wilayah di kepulauan Kalimantan.
Di Indonesia, huruf Arab tidak hanya digunakan untuk penulisan bahasa Melayu, namun juga untuk penulisan bahasa Jawa. Huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa dikenal dengan nama Arab Pegon. Kata 'Pegon' konon berasal dari bahasa Jawa 'Pego' yang berarti menyimpang. Sebab, bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab dianggap sesuatu yang tidak lazim.
M Irfan Shofwani dalam bukunya Mengenal Tulisan Arab Melayu menyebutkan, sejarah penulisan huruf Arab Pegon di Nusantara diperkirakan ada sejak tahun 1200 M atau 1300 M seiring dengan masuknya agama Islam menggantikan kepercayaan animisme, Hindu, dan Buddha. Banyak orang Jawa mengira bahwa huruf Arab Pegon itu hanya milik orang Jawa karena penggunaannya sudah mentradisi di kalangan pesantren-pesantren salaf di wilayah Jawa.
Bahkan, hingga kini, komunitas santri di pesantren-pesantren salaf masih menggunakan huruf Arab Pegon ini dalam memahami teks-teks Arab dan kitab kuning yang penerjemahannya memakai huruf Arab Pegon. Tidak hanya itu, huruf Arab Pegon juga dipergunakan untuk menulis komentar pada Alquran. Tetapi, banyak pula manuskrip cerita yang ditulis dalam huruf Arab Pegon.
II.    Mulai dilupakan
Sayangnya, huruf Arab Pegon kini tak lagi dikenal oleh masyarakat luas. Padahal, menurut sejarahnya, huruf Arab Pegon telah digunakan secara luas oleh para penyiar agama Islam, ulama, penyair, sastrawan, pedagang, hingga politikus di kawasan dunia Melayu. Disebutkan Abdul Hadi, seorang ulama baru diakui keulamaan atau ketokohannya ketika dia mampu menulis sebuah kitab dalam tiga bahasa sekaligus, yakni Arab, Melayu (Jawi), dan Pegon.
Pergeseran penggunaan huruf Arab Pegon menjadi huruf Latin, menurut M Irfan Shofwani, dimulai saat Kemal Attaturk yang dikenal dengan sebutan bapak Turki Modern menggulingkan kekuasaan Khilafah Usmaniyah terakhir, Sultan Hamid II, pada 1924. Kongres bahasa yang diadakan di Singapura pada 1950-an memperkuat kedudukan huruf Latin.
Salah satu keputusan dalam kongres tersebut menghasilkan pembentukan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia yang memelopori dan mengompori penggunaan abjad Latin. Saat itulah hampir semua penerbit koran, majalah, dan buku dengan terpaksa mengganti aksara Arab Pegon dengan huruf Latin.
Namun, penggunaan tulisan Arab Pegon hingga kini masih digunakan pada beberapa produk makanan di kawasan dunia Melayu (Malaysia, Thailand Selatan, Brunei Darussalam, dan beberapa wilayah di Indonesia). Dapat dipastikan, terdapat tulisan Arab Pegon dalam kemasannya.
III.    Batu Bersurat Terengganu
Bukti keberadaan tulisan Arab Melayu (Jawi) dapat dijumpai pada Prasasti Batu Bersurat Terengganu yang terdapat di Kuala Berang, Terengganu, Malaysia. Tulisan Jawi yang terdapat pada batu ini dibuat pada tahun 702 H/1303 M atau jauh sebelum bentuk tulisan Latin dikenal secara luas. Tulisan Jawi pada prasasti ini menunjukkan pengaruh Islam yang cukup kental di Tanah Melayu.
Prasasti Batu Bersurat Terengganu ini diyakini telah berusia lebih kurang 700 tahun. Prasasti ini merupakan batu bertulis yang mempunyai ukiran paling tua dan tulisan Jawi pertama di Malaysia. Keberadaan prasasti ini membuktikan bahwa Islam telah sampai ke wilayah Terengganu pada awal abad ke-13 dan tulisan Arab telah telah digunakan dalam bahasa Melayu pada abad itu.
Tulisan yang terukir pada Prasasti Batu Bersurat Terengganu ini mengenai undang-undang yang dikeluarkan oleh seorang raja. Catatan yang terdapat pada batu ini menyebut Islam sebagai agama resmi dan menerangkan hukum-hukum Islam tentang maksiat dan segala kemungkaran. Catatan ini dipercayai sebagai bukti kedatangan agama Islam di Terengganu pada tahun 1303 M.
IV.    Kaidah Penulisan Arab Jawi
Secara umum, periodisasi penggunaan huruf oleh masyarakat di Indonesia terbagi menjadi tiga tahap. Pertama, penulisan dengan huruf Jawa dan Sumatra kuno. Kedua, dengan huruf Arab (Hijaiyah) yang kemudian disebut huruf Jawi atau Pegon. Ketiga, tulisan dengan huruf Latin yang dikenal sejak tahun 1901 hingga sekarang.
Diungkapkan oleh Maman S Mahayana, pada periode awal masuknya orang-orang Eropa ke Nusantara, huruf Latin belum bisa diterima. Bangsa Eropa sendiri, khususnya Belanda, meskipun menemukan banyak kesulitan, mau tidak mau menggunakan huruf Jawi dalam komunikasi tertulis dengan orang-orang pribumi. Memang, ada beberapa kalangan yang telah mengenal huruf Latin, terutama kalangan bangsawan, namun jumlah mereka sedikit.

V.    Huruf Arab Melayu
Pada abad ke-17 M, kegiatan kepenulisan di Nusantara dengan huruf Arab Jawi telah ramai. Para ulama dan cerdik pandai menulis beberapa karya besar di berbagai bidang, tidak hanya terbatas bidang keagamaan. Contohnya adalah kitab Tajussalatin (1603), Bad'u Khalqissamawati wal-Ardhi (1637), Bustanussalatin (1638), dan masih banyak lagi. Menurut Dr Kun Zachrun Istanti SU, tulisan Arab-Melayu atau Jawi yang digunakan itu mengisyaratkan bahwa karya-karya tersebut dituliskan setelah agama Islam masuk dan berpengaruh kuat di kawasan Nusantara.
Kata 'Jawi' adalah bentuk genetif (Arab) kata 'Jawa' yang digunakan untuk mengacu ke Indonesia atau Nusantara. Namun, menurut Dr Kun Zachrun, karena sistem fonologi bahasa Melayu tidak sama dengan sistem fonologi bahasa Arab, digunakan bantuan titik diakritik untuk menyatakan bunyi bahasa yang tidak ada dalam bahasa Arab sebagai berikut. Huruf 'jim' yang diberi titik tiga akan berbunyi huruf 'c'. Kemudian, huruf 'ain' atau 'ghain' diberi titik tiga akan berbunyi 'ng'. Dan, huruf 'ya' atau 'ba' dengan dengan titik tiga di bawah akan berbunyi 'nya'. Demikian juga yang lainnya.
Prof Dr Abdul Hadi WM, guru besar Sastra Universitas Paramadina Mulya (UPM), Jakarta, mengemukakan, huruf Jawi ditemukan oleh Syekh Muhammad Jawini dari Persia. Kemudian, untuk lebih mengenal istilah Jawi itulah namanya dinisbatkan. Mengenai perumusan kaidah-kaidah yang berlaku pada penulisan bahasa Melayu dengan huruf Arab, hal itu telah banyak dilakukan, antara lain, oleh MB Lewis (1958) berjudul A Handbook of Malay Script: With Passages for Reading and a List of Commonly-Used Arabic Word. Karya lain yang menyangkut hal tersebut dilakukan oleh A Latif (1939) yang berjudul Pemimpin bagi Goeroe-goeroe oentoek Mengajarkan Hoeroef Arab (Melajoe) di Sekolah Rendah Boemi Poetera.
Ada juga yang disusun oleh A Rosadi dan RM Suhud (1960) terbitan Percetakan Pelajar, Bandung, yang berjudul Tjara Menulis Huruf Arab Melaju untuk Bahasa Indonesia dan karya Zuber Usman (1961) terbitan Pradja Paramita, Jakarta, berjudul Kitab Pemimpin Lembaga untuk Guru-guru yang akan Mengajarkan Huruf Arab Melaju. Dari pengamatan Syamsul Hadi terhadap Bibliografi Bahasa Indonesia (1975), dijumpai 28 buah karya yang berkaitan dengan kaidah penulisan bahasa Melayu dengan huruf Arab (Jawa).
VI.    Perkembangan Penggunaan AKsara Pegon dan Melayu
Membedakan huruf Arab Pegon dengan huruf Arab asli sangat mudah. M Irfan Shofwani dalam bukunya Mengenal Tulisan Arab Melayu menerangkan bahwa penulisan Arab Pegon menggunakan semua aksara Arab Hijaiyah dilengkapi dengan konsonan abjad Indonesia yang ditulis dengan aksara Arab yang telah dimodifikasi.
Modifikasi huruf Arab ini dikenal sebagai huruf jati Arab Melayu yang berwujud aksara Arab serapan yang tak lazim. Misalnya, untuk konsonan 'nga', Arab Pegon menggunakan huruf 'ain' atau 'ghain' dengan tiga titik di atasnya. Sedangkan, untuk konsonan 'p' diambil dari huruf 'fa' dengan tiga titik di atasnya dan sebagainya. Selain itu, huruf Arab Pegon meniadakan syakal (tanda baca) layaknya huruf Arab gundul.
Namun, sumber lain menyebutkan, huruf Arab Pegon hampir selalu dibubuhi tanda baca vokal. Ini berbeda dengan huruf Jawi yang ditulis gundul (tanpa tanda baca). Bahasa Jawa memang memiliki kosakata vokal yang lebih banyak daripada bahasa Melayu. Sehingga, vokal perlu ditulis untuk menghindari kerancuan.
Drs UU Hamidy MA, staf pengajar pada Universitas Riau, dalam tulisannya mengenai naskah Arab Melayu mengungkapkan bahwa para cendekiawan Riau sudah menggunakan huruf Arab Melayu untuk kegiatan penulisan mereka sejak abad ke-19, yaitu tahun 1800-an. Huruf Arab Melayu dipakai secara penuh, seperti dalam karya-karya Raja Ali Haji. Naskah-naskah yang mempergunakan huruf Arab Melayu dan angka-angka Arab orisinal antara lain adalah Kanun Kerajaan Riau Lingga, Bustan Al Katibin, serta Salasilah Melayu dan Bugis karya Raja Ali Haji. Begitu juga dengan Syair Abdul Muluk yang diperkirakan merupakan karya Raja Zaleha dan Raja Ali Haji, Bughyat al-Ani Fi Huruf Al Maani karya Raja Ali Kelana.
Naskah-naskah kuno Riau yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu memiliki halaman-halaman kitab atau naskah yang tidak lagi menggunakan angka Arab orisinal (seperti angka-angka untuk halaman Alquran), namun telah dimodifikasi menjadi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 0. Naskah-naskah tersebut antara lain adalah Babal Qawaid, Syair Sahimsah terjemahan Raja Haji Abdullah, Undang-Undang Polisi Kerajaan Riau-Lingga, dan Kisah Iblis Menghadap Nabi Muhammad karya Muhammad bin Haji Muhammad Said.
Menurut Hamidy, ciri atau tanda-tanda huruf Arab Melayu yang dipergunakan pada masa itu agak berbeda dengan huruf Arab Melayu yang dikenal sekarang. Dalam naskah Riau, sistem huruf Arab Melayu boleh dikatakan sebagian besar memberi tanda saksi untuk tiap bunyi vokal, seperti bunyi a, i, u, (alif, waw, dan ya). Sistem ini mempermudah cara membacanya dan kemungkinan salah baca menjadi lebih kecil.
Berbeda dengan sistem penulisan Arab Melayu sekarang yang hanya memberi saksi pada bunyi vokal pada suku kata kedua dan suku terakhir pada setiap kata. Oleh karena banyak bunyi vokal yang dihilangkan, sebuah kata bisa dibaca dalam beberapa kemungkinan bunyi vokal. Dalam sistem ini, bunyi (ucapan) kata harus diperhitungkan dalam konteks kalimat.
Sistem penulisan Arab Melayu seperti dalam naskah-naskah lama Riau terus digunakan oleh para pengguna bahasa Melayu di Semenanjung Malaka (sekarang bernama Malaysia), Singapura, dan Brunei Darussalam. Suku tertutup diberi tanda dengan alif, wau, dan ya sehingga naskah lebih mudah dibaca. Meskipun demikian, tambah Hamidy, beberapa pengarang Riau, seperti Haji Abdurrahman Siddiq dan Haji Abdurrahman Yakub, tetap mempergunakan huruf Arab Melayu dengan angka Arab tanpa perubahan bentuk sama sekali. Hanya Syair Hari Kiamat karya Tuan Guru Abdurrahman Siddiq yang memakai angka Arab model Latin pada nomor halaman kitabnya.
Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Syamsul Hadi, dalam makalahnya yang berjudul 'Bahasa Arab dan Khazanah Sastra Keagamaan di Indonesia' menerangkan, pada naskah tulisan tangan, biasanya terdapat perbedaan penggunaan jenis-jenis huruf Arab, yakni tulisan naskhi, riq'i, dan tsulutsi.
Jenis naskhi biasanya dipergunakan untuk tulisan pada umumnya. Tulisan riq'i digunakan untuk penulisan cepat. Adapun jenis tsulutsi yang indah dipergunakan untuk judul-judul naskah. Meskipun kaidah baru dengan penambahan tanda diakritik berkaitan dengan adanya perbedaan vokal ataupun konsonan pada bahasa Arab dan Melayu, jenis tulisan yang dipakai masih juga sama, tidak ada jenis tulisan baru model Melayu.
Syamsul Hadi menjelaskan, kata 'pegon' berasal dari bahasa Jawa 'pego' yang artinya tidak lazim dalam mengucapkan bahasa Jawa. Hal ini, menurutnya, disebabkan banyaknya kata Jawa yang ditulis dengan tulisan Arab dan menjadi aneh ketika diucapkan. Penjelasan itu diperkuat oleh Titik Pudjiastuti dalam tulisan 'Aksara Pegon: Sarana Dakwah dan Sastra dalam Budaya Jawa'. Menurutnya, teks Jawa yang ditulis dengan aksara Arab disebut teks pegon yang artinya sesuatu yang berkesan menyimpang. Lebih lanjut, ia mengatakan, penamaan ini mungkin disebabkan jumlah aksara yang diparalelkan dengan aksara Jawa lebih sedikit dari aksara Arab yang mejadi dasarnya. Ada pertanyaan yang muncul, mengapa dikatakan aneh, pego, dan menyimpang? Tentu saja karena bahasa Jawa lebih tepat jika ditulis dengan aksaranya sendiri, yakni aksara Jawa.
Menurut Prof Syamsul Hadi, hampir semua khazanah keagamaan Jawa, yakni sastra suluk, kitab kuning, terjemahan nadhoman, terjemahan jenggotan, ataupun jenis sastra berbentuk syi'iran, ditulis dengan Arab Pegon. Namun, penulisan bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon tidak terbatas saja pada khazanah naskah keagamaan. Tetapi, huruf Arab Pegon juga dipakai untuk penulisan pada umumnya, terutama di kalangan pesantren. Seperti halnya yang terjadi di tanah Melayu, penulisan bahasa Jawa dengan huruf Pegon tidak terbatas pada khazanah naskah keagamaan, tetapi juga dipakai untuk penulisan pada umumnya, terutama di kalangan pesantren. Dalam tulisan pegon juga dikenal jenis-jenis naskhi, riq'i, dan tsulutsi. Selain ketiga jenis tulisan itu, pegon mengenal dua macam variasi, yakni pegon berharakat dan pegon gondhul (tak berharakat).

Comments

Popular Posts