Fakta atau legenda (Damarwulan)
Fakta
atau legenda
oleh: Moch Rif'an
Cerita Damarwulan,
Menakjinggo dan Puti Kencana Wungu
1. Cerita
Versi juru kunci[1]
Makam
Puteri Campa ternyata letaknya memasuki pemukiman penduduk. Bangunannya
masih terawat. Di sana ada tempat tetirahan, makam keluarga Puteri Campa dan
abdi kinasih. Sedangkan makam Puteri Campa ada di belakang bersama suaminya,
Damarwulan. Ketika jurukunci menyebut nama Damarwulan saya merasa heranan. Rupanya
Puteri Campa sebelum menjadi istri Damarwulan telah berdiam di Medan sebagai
istri salah seorang pembesar kerajaan. Setelah kerajaan tersebut ditaklukan
oleh Majapahit, maka Puteri Campa tersebut menjadi istri Raja Majapahit yang
bergelar Brawijaya. Puteri Campa yang merupakan selir raja inilah yang
mengandung Raden Patah, raja pertama Kerajaan Demak.
Dikisahkan
Damarwulan yang telah beristrikan Anjasmara berhasil mengalahkan Menakjinggo
sehingga dinobatkan menjadi Raja Majapahit dan menikah dengan Ratu
Kenconowungu. Kekalahan Menakjinggo ini berkat petunjuk dua istri Menakjinggo
yang kemudian juga menjadi istri Damarwulan.
Saya
masih beranggapan kisah Damarwulan adalah kisah dongeng sehingga masih
terheran-heran ketika mendengar dari kisah juru kunci bahwa Damarwulan adalah
Brawijaya terakhir yang ditundukkan oleh anaknya sendiri, Raden Patah. Dari
kisah sejarah yang masih saya ingat, Prabu Brawijaya kecewa oleh penaklukan
anaknya, dan menyatakan bahwa tidak akan ada lagi kerajaan sebesar Majapahit
dan Beliau bertitah pada anaknya untuk membiarkannya tetap memeluk agama
Hindu.
Menurut
juru kunci, Puteri Campa dan suaminya beragama Islam. Menurut pak Koes suaminya
masih beragama Hindu, karena saking cintanya dia di makamkan bersama istrinya
dan tidak di bakar. Karena pikiran telah bercampur aduk antara khayalan dan
realita, saya meragukan kebenaran cerita si juru kunci.
Menurut
ceritera, Prabu Menakjinggo yang dianggap sebagai raja Blambangan yang telah
berani meminang Sri Ratu Kencanawungu atau (Prabu Kenya) dianggap kekuasaan
serta telah melakukan kejahatan yang berlebih- lebihan, karena maharani
Majapahit itu seharusnya dihormati dan dimuliakannya sebagai Ratunya. Sedang
kedua permaisurinya, yakni Dewi Waita dan Dewi Puyengan juga dilukiskan sebagai
wanita pengkhianat yang tidak memiliki kesetiaan terhadap suami dan negara.
Itulah sebabnya kerajaan yang diperintah oleh Prabu Menakjinggo dianggap
sebagai lambang kejahatan yang disebut “Kerajaan Blambangan”.
Sementara
itu ceritera Menakjinggo Damarwulan yang bersumber dari luar daerah Blambangan,
maksudnya baik bersumber dari Serat Damarwulan dan Serat Kandha maupun dari
Kesenian Langendriyan, lukisan ceriteranya selalu memburuk-burukkan pihak
Blambangan, terutama tindakan Prabu Menakjinggo dan perilaku kedua
perilmaisurinya, yakni Dewi Waita dan Dewi Puyengan beserta para narapraja dari
kerajaan ini. Dalam hal ini jelas bertentangan dengan fakta sejarah, khususnya
berbagai peristiwa sejarah yang pernah mewarnai jalannya sejarah Blambangan.
Sebagaimana
tersebut di atas bahwa karena perilaku jahat yang berlebih-lebihan yang
dilakukan oleh Prabu Menakjinggo beserta kedua permaisuri dan para
naraprajanya, sehingga menimbulkan tafsiran bahwa kerajaan yang diperintah oleh
Prabu Menakjinggo hanya sebagai perlambang tempat kejahatan yang disebut
kerajaan Blambangan, ternyata mengandung makna dan mencakup berbagai hal yang
jahat jahat saja. Padahal tafsiran semacam itu juga sangat bertentangan dengan
keadaan Blambangan yang sebenarnya, bahkan seharusnya “Blambangan” itu sebagai
perlambang kebaikan.
Sampai saat ini masyarakat di tanah air, khususnya
masyarakat Banyuwangi ternyata banyak yang masih awam dan berpola pikir
tradisional yang lebih cenderung menonjolkan nilai-nilai mithologi dari pada nilai
sejarah ini.
Itulah
sebabnya berkat kepopuleran Legenda Menakjinggo atau ceritera Menakjinggo
Damarwulan, rakyat Blambangan ternyata tidak sedikit yang beranggapan bahwa
sebagian lukisan ceriteranya, terutama keberadaan dan peran Menakjinggo
diyakini sebagai peristiwa sejarah yang benar-benar pernah terjadi di bumi
Blambangan di masa silam. Lebih dari itu sebagaimana telah Menakjinggo
ditokohkan sebagai raja Blambangan, bahkan dianggapnya sebagai leluhur dan
pahlawan Blambangan. Anggapan dan kepercayaan semacam itu ternyata telah
berakar kuat di hati masyarakat, khususnya di hati masyarakat di kawasan ujung
paling Timur pulau Jawa ini.
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut secara tepat atau paling tidak sudah mendekati
kebenaran faktanya, perlu dibuktikan dengan mempelajari secara seksama berbagai
buku sejarah, terutama sejarah Blambangan dan khususnya berbagai buku Babad
Blambangan. Padahal dalam berbagai buku sejarah, khususnya sejarah Blambangan
ternyata tidak pernah diketemukan nama atau sebutan Menakjinggo yang dimaksud.
Memang, sebagaimana yang pernah diketengahkan bahwa sebutan Menakjinggo,
terutama asal-usulnya dapat ditelusuri dan diketemukan dalam dua buah “Dongeng
Rakyat” (Folklore), akan tetapi diantara satu sumber itu dengan yang sumber
terdapat perbedaan yang cukup mendasar mengenai riwayat hidup dan peran
Menakjinggo dalam uraian ceriteranya. Dongeng rakyat yang disebut “Bambang
Menak”, mengisahkan asal usul Menakjinggo, yakni merupakan (keturunan) dari
Adipati Macuet atau (Adipati Jinggo) dari Gua Siluman hasil perkawinannya
dengan Putri Tunjungsari dari pedepokan Wendit. Putra Sang Adipati ini ketika
masih bocah diberi nama “Bambang Menak” yang ternyata diasuh oleh Ki Hajar
Pamengger di pedepokan Gunung Pipit. Setelah menduduki jabatan Adipati Gua
Siluman, Bambang Menak bergelar Adipati Menakjinggo. Gelarnya itu ternyata
merupakan perpaduan dari dua nama yang diambil dari namanya sendiri, yakni
Bambang Menak dan nama ayah kandungnya yang pada waktu itu menjadi musuh dan
dapat dibunuhnya, yakni Adipati Jinggo atau Adipati Macuet dari Gua Siluman.
Dari
satu sumber lain, yakni ceritera Kebomarcuet dengan Dongeng Jaka Umbaran
mengisahkan antara lain bahwa Menak Subali Patih Majapahit yang mengadakan
pemberontakan terhadap Prabu Bhrawijaya ternyata dapat ditundukkan dan dibunuh
oleh Kebomarcuet utusan Majapahit yang berasal dari Alas Purwa. Ki Patih Menak
Subali yang tewas di medan laga dengan meninggalkan seorang isteri yang bernama
Jinggowati sedang mengandung tua. Setelah melahirkan, putra mendiang Ki Patih
itu diberi nama Jaka Umbaran yang selanjutnya diasuh oleh Ki Ajar Pamengger.
Setelah dewasa, Jaka Umbaran menuntut balas atas kematian mendiang ayahnya dan
berhasil membunuh Kebomarcuet, yang selanjutnya juga meneruskan perlawanan
terhadap Majapahit dengan maksud untuk menuntut balas atas kematian ayahnya
pula kepada Prabu Bhrawijaya. Sebelum mengadakan perlawanan terhadap Majapahit,
untuk menyeimbangkan kedudukannya, Jaka Umbaran mengangkat dirinya sebagai raja
Blambangan dengan gelar Prabu Menakjinggo yang juga dikenal dengan sebutan
Prabu Urubisma. Sedang gelarnya Prabu Menakjinggo itu juga ternyata merupakan
perpaduan dari dua nama yang diambil dari nama mendiang ayahnya, yaitu Patih
Menak Subali dan nama ibunya Jinggowati
Sebagaimana
yang pernah diketengahkan bahwa asal-usul Menakjinggo yang bersumber dari buku
“Babad Mas Sepuh” suntingan Winarsih Partaningrat Arifin dari Babad Blambangan,
Edisi : Ecole Prancaise de ‘Extreme-Orient, YBB. 024.95 Jogyakarta, Desember
1995, dalam “Ringkasan Babad Mas Sepuh”, halaman 127 ternyata mengungkapkan
antara lain bahwa Pangeran Danureja yang telah menjadi raja Blambangan, setelah
lama bertapa mempunyai anak yang diberi nama “Pangeran Menakjinggo” yang juga
disebut “Pangeran Mas Sepuh.” Pada halaman tersebut ternyata terdapat
“Footnote” yang pada No. I menerangkan antaralain “Jadi nama resmi anak
Pangeran Danureja memang Pangeran Menakjinggo” (dalam Babad Wilis disebut
Pangeran Jinggo). Sedang sebutan Pangeran Mas Sepuh sebenarnya hanya dipakai
orang-orang Bali saja. Di samping itu ternyata masih terdapat buku Babad
Natadiningrat (KBG. 607) juga suntingan Winarsih Partaningrat Arifin yang
serupa dengan tersebut di atas, pada halaman 247 dan seterusnya dalam
mengungkap tentang asal-usul Menakjinggo ternyata mirip sekali dengan uraian
mengenai asal-usul Menakjinggo yang bersumber dari Serat Kandha yang Serat
Kandhaning Ringgit Purwa. Serat Kandha yang sebutan lengkapnya “Serat
Kandhaning Ringgit Purwa” Asmaradana pupuh CCCLXXXV, 38 pada gatra (bait) 25
sampai dengan 33 (sembilan bait) yang mengungkapkan tentang asal usul
Menakjinggo pada intinya jika disimpulkan antara lain bahwa Adipati pamengger
dari Blambangan merasa masygul hatinya setelah diundang dan menghadiri upacara
wisuda Dewi Kencanawungu menjadi maharani Majapahit dengan gelar Prabu Kenya.
Sang Adipati merasa sangat kecewa megapa selama itu tidak dianugerahi anak
seorang pun. Padahal Dewi Kencanawungu anak perempuan saja ternyata dapat
diwisuda oleh ayahnya Prabu Bhrawijaya sebagai raja Majapahit. Dalam merupakan
masalah tersebut, Adipati Pamengger tidak didampingi seorang pun baik dari
keluarga Kadipaten Blambangan maupun narapraja yang lain, kecuali seekor anjing
berwarna merah yang sangat setia mendampingi Ratu Gustinya. Anjing merah milik
Adipati Blambangan itu di samping sangat setia ternyata memiliki pengertian
layaknya manusia, terutama terhadap Sang Adipati. Dalam hal ini menyebabkan
Adipati Pamengger mohon kepada Yang Maha Agung, seandainya anjingnya yang merah
itu dapat berubah menjadi manusia pasti akan diambil sebagai putra angkat dan
kelak pasti akan diwisuda sebagai Adipati Blambangan untuk menggantikan
kedudukannya.
Dalam
kisah tersebut, permohonan Adipati pamengger ternyata terkabul dan anjingnya
yang sangat setia itu berubah menjadi manusia yang langsung bersembah kepada
Sang Adipati. Sayang sekali, manusia yang berasal dari anjing itu tetap
bertampang buruk dan wajahnya tetap bermoncong seperti anjing. Sebenarnya
Adipati Pamengger sangat menyesal permohonannya itu, akan tetapi setelah berpikir
secara mendalam bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah kehendak
dan kekuasaan dari Yang Maha Pencipta, Sang Adipati segera memeluk serta
memandikan bocah itu dengan memberikan tuah dari pusakanya “Besi Kuning”
kemudian memberi nama kepada putra angkatnya itu dengan sebutan “Pangeran
Menakjinggo,” yang juga dijanjikan kelak akan diwisuda sebagai Adipati
Blambangan untuk menggantikan kedudukan Sang Adipati. Sedang anak angkatnya
Pangeran Menakjinggo akan mentaati segala perintah dan petunjuk ayah angkatnya.
Setelah diwisuda menjadi Adipati Blambangan, Sang Adipati ternyata
mempersunting kedua wanita rupawan dari Baliga dan Bangkalan, yakni Dewi Waita
dan Dewi Puyengan sebagai permaisurinya. Kendati demikian Adipati Menakjinggo
masih bermaksud untuk meminang Sri Ratu Kencanawungu Maharani Majapahit untuk
dijadikan pendampingnya. Untuk menyeimbangkan kedudukannya, Sang Adipati
mengangkat dirinya sebagai raja Blambangan dengan gelar Prabu Menakjinggo yang
juga terkenal dengan gelar Prabu Urubismo. Dalam hal ini ayah angkatnya tidak
merestuinya, bahkan mencegah maksud Prabu Menakjinggo untuk mempersunting
Maharani Majapahit, namun raja Blambangan itu tidak mempedulikan nasihat ayah
angkatnya. Itulah sebabnya Ki Pamengger ternyata meninggalkan istana Blambangan
untuk bertapa di suatu pegunungan yang akhirnya menjadi pertapa sakti dengan
sebutan Ki Ajar Pamengger.
Semua
uraian di atas, terutama tentang asal usul Menakjinggo jika disimak secara
seksama, telah menunjukkan dengan jelas bahwa keberadaan Menakjinggo saja sudah
tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Mana mungkin seorang manusia
dari beberapa pasangan suami-isteri, bahkan juga dikisahkan bahwa Menakjinggo
itu dicipta dan berasal dari seekor anjing merah. Sedang Pangeran Menakjinggo
yang asal-usulnya bersumber dari Babad Blambangan (Babad Mas Sepuh) Yakni
sebagai putra Pangeran Danurejo raja Blambangan, riwayat hidup dan perannya
dalam perjalanan sejarah Blambangan masih perlu dipertanyakan. Benarkah
Pangeran Menakjinggo itu idektik dengan Pangeran Mas sepuh yang dalam Babad
Wilis disebut Pangeran Jinggo dan dalam Babad Blambangan dikenal dengan sebutan
Pangeran Prabu atau Pangeran Pati II, sedangkan dalam Babad Tawang Alun
banyak disebut-sebut sebagai Panger·an Danuningran atau Pangeran Mangkuningrat?
Dalam hal ini mengingat bahwa Pangeran Jinggo (Pangeran Mas Sepuh = Pangeran
Pati II = Pangeran Danuningrat = Pangeran Mangkuningrat) merupakan raja
Blambangan
terakhir
(putra PrabuDanurejo) yang memerintah pada tahun 1736 -1764 itu pernah menodai
perjalanan sejarah Blambangan, karena Sang prabu satu-satunya raja Blambangan
yang pernah bekerjasama dengan Kompeni Belanda, sehingga Prabu Danuningrat
terpaksa ditangkap dan dijatuhi hukuman mati dan pada tahun 1766 dibunuh di
pantai Seseh/Bali.
Para
Menakjinggo tersebut di atas kecuali yang dibunuh di pantai Seseh tersebul,
memiliki tindakan dan peran yang serupa, walaupun asal usul masing-masing
Menakjinggo itu terdapat perbedaan cukup mendasar. Semua Menakjinggo itu
ternyata terlibat peperangan dengan Majapahit yang berakhir bahwa masing-masing
Menakjinggo dapat dibunuh dan dipenggal kepalanya oleh Raden Damarwulan utusan
Majapahit. Berkat keberhasilannya dalam menumpas pemberontakan di Blambangan
Raden Damarwulan dijodohkan dengan Sri Ratu Kencanawunggu dan menggantikan ke
dudukannya sebagai raja Majapahit dengan gelar Prabu Bhrawijaya VI (Prabu
Mertawijaya). Kendati demikian yang sangat menarik perhatian dalam peperangan
antara Blambangan clan Majapahit itu, masing-masing Menakjinggo yang melawan
Majapahit itu memiliki motif (sebab-musababnya) berbeda-beda pula. Dengan
demikian cukup jelas bahwa keberadaan dan peran Menakjinggo dalam perjalanan
sejarah nasional tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, tegasnya
Menakjinggo hanya sebagai tokoh fiktif dalam perjalanan sejarah Blambangan.
3.
Tokoh Kencana Wungu dalam kisah
Damarwulan
Fakta Ratu Majapahit dalam cerita Damar Wulan, Prabu Kenya-dalam
cerita biasanya disebut Kencana Wungu-dikaitkan dengan Suhita. Karena itu,
Brandes mengaitkan peperangan antara Majapahit dengan Menakjinggo ini dengan Perang Puregreg. Sedangkan ilmuwan lain
mengaitkan sosok Ratu Majapahit itu dengan Tribhuwanotunggawijayaawisynuwardhani,
dan cerita tentang Perang Blambangan dikaitkan dengan peristiwa Perang Sadeng (lebih lengkapnya lihat CC
Berg, Penulisan Sejarah Jawa, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1985, halaman
90-92).
komparasi dan kontras itu dimulai dari fakta Patih
Udara mundur, melepaskan diri dari fatamorgana kekuasaan dunia dan masih tetap
memegang wibawa pemimpin dan pamor kekuasaan. Setidaknya, kalau dibandingkan dengan Patih Logender,
tokoh yang ketiban pulung memegang kekuasaan, tetapi tidak memiliki wibawa
pemimpin dan pamor kekuasaan, sehingga
kraton dipenuhi pamong yang pandai menjilat dan cuma memperjuangkan kepentingan
golongan dan pribadi. Puncaknya, terutama ketika ada ancaman aneksasi oleh
Blambangan dengan kedok lamaran Menakjinggo. Jalan keluar dari krisis itu
menggelikan, yaitu menyelenggarakan sayembara. Dengan kata lain, memberikan
kerajaan dan dirinya kepada sembarang lelaki yang mampu mengalahkan Menakinggo.
Jalan keluar yang mengelucak harga diri.
Oleh karena itu, fakta sayembara berhadiah
"takhta dan wanodya" ini menunjukkan adanya sebuah fenomena besar di
belakang layar. Bahwa Kencana Wungu tak bisa lagi mempercayai pamong dan prajuritnya, sekaligus
menggarisbawahi sosok Kencana Wungu yang subordinan meski secara politik dia
pemegang kekuasaan tertinggi.
Raja
perempuan yang lain adalah Dewi Suhita, yang naik tahta seabad sesudahnya yaitu
pada tahun 1429. Ia menggantikan ayahnya Wikramawardana yang konon sempat
memilih hidup sebagai seorang brahmana. Jika yang dimaksud dengan Kencanawungu
adalah Suhita atau Tribuanatunggadewi
maka jelas bahwa Ranggalawe yang diceritakan dalam Serat Damarwulan ini
bukanlah Ranggalawe dalam pemberontakan melawan Majapahit, karena meraka hidup
di jaman yang berbeda. Ranggalawe gugur pada tahun 1309 sedangkan
Tribuanatunggadewi baru memerintah pada tahun 1328 dan Dewi Suhita baru
memerintah pada tahun 1429.
Bagaimana dengan tokoh Menakjingga, Adipati Blambangan yang dalam Serat Damarwulan diceritakan diperangi oleh Majapahit karena memberontak dan ingin meminang Kencanawungu. Benarkah Menakjingga tak lain adalah Bhre Wirabumi seperti yang diduga oleh Pigeaud dan Brandes?
Bagaimana dengan tokoh Menakjingga, Adipati Blambangan yang dalam Serat Damarwulan diceritakan diperangi oleh Majapahit karena memberontak dan ingin meminang Kencanawungu. Benarkah Menakjingga tak lain adalah Bhre Wirabumi seperti yang diduga oleh Pigeaud dan Brandes?
Jadi
jelas bahwa motif pemberontakan Bhre Wirabumi adalah perebutan tahta, sedangkan
dalam Serat Damarwulan diceritakan bahwa motif pemberontakan Menakjingga adalah
karena Kencanawungu menolak lamarannya. Jika Bhre Wirabumi adalah Menakjingga, tampaknya agak aneh karena
dengan demikian ia bermaksud mempersunting cucunya sendiri.
Kejanggalan
lain adalah masalah temporal. Seperti disebut di atas bahwa Dewi Suhita baru
memerintah pada tahun 1429 setelah ayahnya Wikramawardana mangkat. Kemungkinan besar
bahwa niat Wikramawardana untuk mengangkat Dewi Suhita menggantikan dirinya
pada tahun 1400 itu diurungkan setelah terjadi pemberontakan itu, dan putrinya
baru benar-benar menjadi raja setelah ia meninggal. Dengan demikian sulit
dipahami jika Bhre Wirabumi adalah sama dengan Menak Jingga karena Bhre
Wirabumi yang gugur pada saat Perang Paregreg (1404-1406) terjadi pada masa
pemerintahan Wikramawardana, sedangkan dalam Serat Damarwulan disebutkan bahwa
Menakjingga tewas pada masa pemerintahan Kencanawungu atau Dewi Suhita. Hal ini
sekaligus untuk memperjelas lagi bahwa Kencana Wungu dan Suhita sulit untuk
diasosiasikan[3].
4.
Tokoh damar wulan[4]
Bagaimana dengan tokoh Damarwulan? Benarkan ia sebenarnya
adalah Raden Gadjah seperti yang dikemukan oleh beberapa peneliti sebelumnya.
Dalam sejarah Perang Paregrek diceritakan bahwa pada awalnya pasukan Majapahit
mengalami kekalahan. Kemudian diutuslah Raden Gadjah sebagai panglima perang.
Raden Gadjah berhasil mengusir pasukan Blambangan dan membunuh Brhe Wirabumi
pada saat ia ingin melarikan diri dengan menumpang sebuah perahu. Raden Gadjah
kemudian memenggal kepala Bhre Wirabumi dan dibawa ke Majapahit. Seperti
dijelaskan sebelumnya peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan
Wikramawardana. Hal yang menarik adalah bahwa pada tahun 1433, pada masa
pemerintahan Dewi Suhita (1429-1447), Raden Gadjah dihukum mati sebagai
pembalasan atas kematian Bhre Wirabumi.
Berdasarkan fakta-fakta di atas maka sulit dipahami jika
Raden Gadjah ini disamakan dengan Damarwulan. Karena dalam Serat Damarwulan
diceritakan bahwa setelah berhasil membunuh Menak Jingga ia dinobatkan menjadi
Raja Majapahit dan mempersunting Kencanawungu sebagai permaisurinya. Hal ini
tidak terjadi pada fakta-fakta yang ada tentang riwayat Raden Gadjah. Fakta
lain yang dapat membantah asosiasi Raden Dadjah-Damarwulan ini disebutkan bahwa
suami Dewi Suhita bukanlah Raden Gadjah tetapi Bhre Prameswara. Apakah Brhe
Prameswara ini adalah nama lain dari Raden Gadjah? Tampaknya juga bukan, karena
disebutkan bahwa Raden Gadjah dihukum mati pada tahun 1433, sedangkan Bhre
Prameswara baru mangkat 13 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1446.
Stutterheim memiliki pandangan lain, bahwa Damarwulan adalah
Kertawardana, suami Tribuanatunggadewi yang diasosiasikan dengan Kencanawungu,
sedangkan Menakjingga adalah adipati Sadeng. Pendapat Stutterheim ini
didasarkan pada Serat Pararaton, dimana didalamnya menyebut Anjasmara sebagai
selir Kertawardana. Dalam serat Damarwulan Anjasmara adalah selir Damarwulan,
putri Patih Majapahit, Logender, dan memiliki saudara kembar bernama Layangseta
dan Layangkumitir.
Pendapat Sutterheim ini mengandung beberapa permasalahan.
Memang pada masa pemerintahan Tribuanatunggadewi, Majapahit pernah menghadapi
pemberontakan dari Sadeng yang terletak di Besuki yang juga wilayah kekuasaan
Blambangan. Namun pemberontakan ini dapat segera dipadamkan karena kecakapan
Patih Gadjah Mada. Dalam menumpas pemberontakan Sadeng ini ada persaingan
antara Patih Gadjah Mada dengan seorang tokoh yang bernama Ra Kembar. Ra kembar
sangat iri kepada Gadjah Mada yang diberi kepercayaan Ratu untuk menumpas
pemberontakan ini. Oleh karena itu iapun melakukan upaya-upaya untuk mendapatkan
perhatian ratu dengan ikut terlibat dalam penumpasan pemberontakan Sadeng ini.
Di akhir pemberontakan Sadeng terjadi duel antara Gadjah Mada dan Ra Kembar
yang kemudian ditandai sebagai sebuah episode terpenting dari sejarah
Majapahit, karena dalam peristiwa itulah sumpah Gadjah Mada yang terkenal,
“Sumpah Palapa” diucapkan. Dalam duel ini Gadjah Mada berhasil mengalahkan Ra
Kembar, dan atas jasa-jasanya ia diangkat sebagai Patih Majapahit.
5. KESIMPULAN.
Berdasarkan
keterangan di atas cerita Damarwulan, Menakjinggo dan Kencana Wungu kemungkinan
memang benar-benar terjadi tapi cerita itu mengalami perubahan, dalam cerita
tersebut banyak bagian yang tidak bisa di terima oleh akal, dalam cerita
tersebut juga banyak sekali perbedaan antara cerita versi Majapahit dan
Blambangan, kemungkinan cerita itu dibuat oleh para pujangga istana untuk
menjaga nama penguasanya hal ini biasanya dinamakan Pujosastro.
Cerita-cerita
sejarah di Jawa kebanyakan tidak di jelaskan bersama tahunya, jadi sejarah
tersebut sangat sulit sekali untuk di lacak kebenarannya. tapi dari upaya-upaya
perbandingan di atas maka dapat disimpulkan bahwa rupanya akan sia-sia untuk
memaksakan bahwa tokoh-tokoh yang disebutkan dalam Serat Damarwulan, termasuk
Adipati Ranggalawe dalam cerita itu, adalah tokoh-tokoh yang tak pernah ada
dalam sejarah. Dengan kata lain Serat Damarwulan adalah cerita rekaan saja yang
diasosiasikan dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi selama periode
kejayaan Majapahit.
Comments