Thaharah atau Bersuci

THAHARAH

Materi 1 : Pengertian dan Pembagian Thaharah

Pengertian Thaharah  Thaharah atau bersuci menduduki masalah penting dalam Islam. Boleh dikatakan bahwa tanpa adanya thaharah, ibadah kita kepada Allah SWT tidak akan diterima. Sebab beberapa ibadah utama mensyaratkan thaharah secara mutlak. Tanpa thaharah, ibadah tidak sah. Bila ibadah tidak sah, maka tidak akan diterima Allah. Kalau tidak diterima Allah, maka konsekuensinya adalah kesia-siaan.  B. Pembagian Jenis Thaharah  Kita bisa membagi thaharah secara umum menjadi dua macam pembagian yang besar.  1. Thaharah Hakiki  Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakain dan tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah secara hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis.  Seorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara hakiki.  Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel, baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibadah ritual. Caranya bermacam-macam tergantung level kenajisannya. Bila najis itu ringan, cukup dengan memercikkan air saja, maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila najis itu berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan dengan cara mencucinya dengan air biasa, hingga hilang warna najisnya. Dan juga hilang bau najisnya. Dan juga hilang rasa najisnya.  2. Thaharah Hukmi  Sedangkan thaharah secara hukmi maksudnya adalah sucinya kita dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar (kondisi janabah). Thaharah secara hukmi tidak terlihat kotornya secara pisik. Bahkan boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran pada diri kita. Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum tentu dipandang bersih secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara ritual.  Seorang yang tertidur batal wudhu'-nya, boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu' bila ingin melakukan ibadah ritual tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya.  Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah mencuci maninya dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar hingga selesai dari mandi janabah.  Jadi secara thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara pisik memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ritual ibadah.  Thaharah secara hukmi dilakukan dengan berwudhu' atau mandi janabah.  *** Contoh masalah:  Pertanyaan:  Pak Ustadz bolehkah kita mengambil air wudhu saja kala kita dalam keadaan punya hadats besar? Terima kasih pak Ustadz.  Jawaban :  Dalam fiqih kita mengenal istilah hadats yang tebagi menjadi dua, yaitu hadats kecil dan hadats besar.  Hadats kecil terjadi bila melakukan hal-hal tertentu seperti buang air kecil atau besar, terkena najis, muntah, kentut dan sebagainya. Sedangkan hadats bersar terjadi bila seseorang keluar mani, hubungan seksual meski tidak keluar mani, haidh, nifas dan seterusnya.  Hadats kecil bisa diangkat (disucikan) dengan berwudhu sedangkan hadats besar dengan mandi janabah. Namun dalam kasus darurat tertentu, tayammum yang asalnya pengganti wudhu bisa mengangkat hadats besar juga.  Jadi hadats besar tidak bisa diangkat (disucikan) dengan wudhu karena wudhu hanya untuk mengangkat hadats kecil. Sebaliknya, mandi janabat bisa untuk mengangkat hadats besar dan kecil sekaligus. Karena paling tidak dalam praktek mandi janabat itu ada praktek wudhu'nya sekaligus.  Namun memang Rasulullah SAW menganjurkan bagi mereka yang telah selesaui melakukan aktifitas seksual dengan istrinya tapi masih enggan untuk mandi janabah, untuk berwudhu saja sebelum tidur di malam itu. Atau bila ingin mengulangi aktifitas seksual berikutnya. Namun wudhu ini tentu saja tidak mengangkat hadats besarnya. Jadi sekedar sunah namun fungsinya tetap tidak bisa menggantikan posis mandi janabat yang bisa mengangkat hadats besar.  (sumber syariah online)
















Materi 2: 4 Jenis Air Dalam Kacamata Fiqih  Para ulama telah membagi air ini menjadi beberapa jenis, sesuai dengan hukumnya dalam syariat Islam. Biasanya mereka membaginya menjadi 4 macam, yaitu : air yang suci dan mensucikan, air yang suci tapi tidak mensucikan, air yang tercampur barang yang suci dan air yang tidak suci lantaran tercampur dengan benda yang najis. Berikut ini adalah penjabarannya secara ringkas :  1. Air Suci dan Mensucikan / Air Mutlaq Air mutlaq adalah air yang hukumnya suci dan bisa digunakan untuk mensucikan sesuatu. Dalam fiqih dikenal dengan istilah Thahirun Li nafsihi Muthahhirun li ghairihi (suci zatnya dan bisa mensucikan zat yang lain).  Air yang suci itu banyak sekali, namun tidak semua air yang suci itu bisa digunakan untuk mensucikan. Air suci adalah air yang boleh digunakan atau dikonsumsi, misalnya air teh, air kelapa atau air-air lainnya. Namun belum tentu bisa digunakan untuk mensucikan seperti untuk berwudhu` atau mandi. Maka ada air yang suci tapi tidak mensucikan namun setiap air yang mensucikan, pastilah air yang suci hukumnya. Diantara air-air yang termasuk dalam kelompok suci dan mensucikan ini antara lain adalah :  a. Air Hujan (QS. Al-Anfal: 11)  b. Salju Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda ketika ditanya bacaan apa yang diucapkannya antara takbir dan al-fatihah, beliau menjawab,`Aku membaca,`Allahumma Ba`id Baini Wa Baina Khathaya Kamaa Baa`adta Bainal Masyriqi Wal Maghrib. Allahumma Naqqini min Khathayaa Kamaa Yunaqqats Tsaubal Abyadhu Minad-danas. Allahumma aghsilni min Khathayaaya Bits-tsalji Wal Ma`i Wal Barad.(HR. Bukhari 744, Muslim 597, Abu Daud 781 dan Nasai 60) Artinya : Ya Allah, Jauhkan aku dari kesalahn-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, sucikan aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana pakaian dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun.  c. Embun Dalil sama dengan salju di atas  d. Air Laut Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Ya Rasulullah, kami mengaruhi lautan dan hanya membawa sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu, pastilah kami kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut ?`. Rasulullah SAW menjawab,`(Laut) itu suci airnya dan halal bangkainya.(HR. Abu Daud 83, At-Tirmizi 79, Ibnu Majah 386, An-Nasai 59, Malik 1/22).  e. Air Zam-zam Dari Ali bin Abi thalib ra bahwa Rasulullah SAW meminta seember penuh air zam-zam. Beliau meminumnya dan juga menggunakannya untuk berwudhu`. (HR. Ahmad).  f. Air Sumur atau Mata Air Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budho`ah?, padahal sumur itu yang digunakan oleh wanita yang haidh, dibuang ke dalamnya daging anjing dan benda yang busuk. Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35). Jika ada benda najjis yang masuk ke sumur (yang airnya banyak), air tetap suci (untuk wudhu') jika aroma, bau, warna dan rasa air tidak berubah.  g. Air Sungai Sedangkan air sungai itu pada dasarnya suci, karena dianggap sama karakternya dengan air sumur atau mata air. Sejak dahuu umat Islam terbiasa mandi, wudhu` atau membersihkan najis termasuk beristinja dengan air sungai. Namun seiring dengan terjadinya perusakan lingkungan yang tidak terbentung lagi, terutama di kota-kota besar, air sungai itu tercemar berat dengan limbah beracun yang meski secara hukum barangkali tidak mengandung najis, namun air yang tercemar dengan logam berat itu sangat membahayakan kesehatan. Maka sebaiknya kita tidak menggunakan air itu karena memberikan madharrat yang lebih besar. Selain itu seringkali air itu sangat tercemar berat dengan limbah ternak, limbah wc atau bahkan orang-orang buang hajat di dalam sungai. Sehingga lama-kelamaan air sungai berubah warna, bau dan rasanya. Maka bisa jadi air itu menjadi najis meski jumlahnya banyak.  Sebab meskipun jumlahnya banyak, tetapi seiring dengan proses pencemaran yang terus menerus sehingga merubah rasa, warna dan aroma yang membuat najis itu terasa dominan sekali dalam air sungai, jelaslah air itu menjadi najis. Maka tidak syah bila digunakan untuk wudhu`, mandi atau membersihkan najis. Namun hal itu bila benar-benar terasa rasa, aroma dan warnanya berubah seperti bau najis.

2. Air Musta`mal  Air musta`mal berarti air yang sudah dipakai, maksudnya yang telah digunakan untuk bersuci (thaharah). Misalnya untuk berwudhu`, mandi wajib (janabah) atau mencuci najis. Sedangkan air yang telah digunakan untuk mencuci tangan di luar wudhu', atau air yang telah digunakan untuk mandi biasa yang bukan mandi janabah, tidak termasuk dikategorikan sebagai air yang telah digunakan (bukan air musta'mal).  Mengenai ke-mustamal-an air ini, terdapat variasi pendapat dari para ulama mazhab.   a. Ulama Asy-Syafi`iyyah Menurut ulama Syafiiyah air mustamal adalah : 1. Air sedikit (kurang dari 2 qullah) dalam suatu wadah yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam rukun thaharah. Air itu menjadi musta`mal apabila diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi wajib, meski hanya dipakai untuk mencuci tangan yang merupakan sunnah dari wudhu`. 2. Air yang menetes dari anggota wudhu atau badan (setelah mandi wajib). Apabila air ini masuk ke dalam wadah air yang kurang dari 2 qullah, maka akan menular ke-mustamal-annya. Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karean statusnya suci tapi tidak mensucikan. (Lihat Mughni Al-Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab jilid 5 hal. 1,8)  b. Ulama Al-Hanafiyah Ulama-ulama mazhab hanafi berpendapat bahwa air mustamal adalah air yang suci namun tidak bisa mensucikan. Penyebab ke-mustamal-an air adalah karena air itu telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu` untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah (sekadar untuk wudhu` sunnah atau mandi sunnah). Tetapi secara lebih detail, menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air yang membasahi tubuh langsung memiliki hukum musta`mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi. Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta`mal sehingga tetap sah digunakan untuk wudhu/mandi. Keterangan seperti ini bisa kita lihat pada kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61.  c. Ulama Al-Malikiyah Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis). Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang (bukan yang tersisa dalam wadah). Namun yang membedakan adalah bahwa air musta`mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan syah digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah walau ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai). (Lihat As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi 41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1 hal 26 dan sesudahnya).  d. Ulama Al-Hanabilah Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya. Selain itu air bekas memandikan mayit pun termasuk air musta`mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang diluar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta`mal. Seperti membasuh muka yang bukan dalam rangkaian wudhu`. Atau mencuci tangan yang bukan dalam kaitan wudhu`. Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta`mal. Hukum musta`mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu` / mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta`mal. Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi `tertular` kemusta`malannya.  BATASAN VOLUME MINIMAL  Para ulama ketika membedakan air musta'mal dan bukan (ghairu) musta'mal, membuat batas dengan ukuran volume air. Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air menjadi musta'mal. Bila volume air itu telah melebihi volume minimal, maka air itu terbebas dari kemungkinan musta'mal. Itu berarti, air dalam jumlah tertentu, meski telah digunakan untuk wudhu atau mandi janabah, tidak terkena hukum sebagai air musta'mal. Ukuran volume air yang membatasai kemusta'malan air adalah 2 qullah. Jadi istilah qullah adalah ukuran volume air. Ukuran volume air ini pasti asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter, kubik atau barrel. Sedangkan istilah qullah adalah ukuran yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Sebenarnya berapa ukuran volume 2 qullah dalam ukuran standar besaran international dimasa sekarang ini? Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan ternyata Dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter. Demikian disebutkan oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu.  PENDAPAT BERBEDA TTG AIR MUSTA'MAL  Selain pendapat dari ulama-ulama mazhab di atas, ada juga ulama yang memiliki pendapat berbeda tentang tentang air Mustamal, di antaranya adalah Syaikh Dr. Sayyid Sabiq (pengarang buku Fikih Sunnah yang terkenal), Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah (pengarang buku Fikih Wanita) dan Ust. A.Hassan (Hasan Bandung, Pendiri PERSIS <Persatuan Isam>). Ulama-ulama ini berpendapat bahwa air mustakmal itu tidak ada atau kalaupun ada, statusnya tetap sama seperti air muthlaq, yaitu suci dan mensucikan. Berdasarkan hadits: Bahwa Rasulullah Saw menyapu kepala dengan sisa air (wudhu) yang terdapat pada tangannya (HR. Abu Daud)   Sementara Ust. A. Hassan dalam buku Soal Jawab mengetengahkan hadits berikut :  # Dari Abdullah bin Yazid bin Ashim Al Anshari RA, dia berkata, "Dia pernah disuruh oleh seseorang, "Berwudhulah untuk kami seperti berwudhunya Rosululloh SAW." Kemudian dia meminta wadah berisi air lalu dikucurkan pada kedua tangannya dan membasuhnya tiga kali, kemudian dia masukkan kedua tangannya lalu dikeluarkannya, kemudian berkumur dan menghirup air dengan hidung dari satu telapak tangan. Dia melakukan itu tiga kali, kemudian dia memasukkan kedua tangannya dan mengeluarkannya lalu membasuh wajahnya tiga kali, kemudian dia memasukkan tangannya lagi dan mengeluarkannya kemudian membasuh kedua tangannya sampai siku masing-masing dua kali, kemudian dia memasukkan tangannya dan mengeluarkannya, lalu mengusap kepalanya dengan menggerakkan kedua tangannya dari depan ke belakang, kemudian dia membasuh kedua kakinya sampai mata kaki. Lalu ia berkata, "Demikianlah cara wudhu Rosululloh SAW." [HR.Muslim 1/145]

3. AIR YANG TERCAMPUR DENGAN BARANG YANG SUCI  Jenis air yang ketiga adalah air yang tercampur dengan barang suci atau barang yang bukan najis. Hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun, kapur barus, tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat padanya. Namun bila air telah keluar dari kriteria airnya, maka dia suci namun tidak mensucikan. Tentang kapur barus, ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk memandikan mayat dengan menggunakannya.  Dari Ummi Athiyyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih banyak dari itu dengan air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air kapur barus (HR. Bukhari 1258, Muslim 939, Abu Daud 3142, Tirmizy 990, An-Nasai 1880 dan Ibnu Majah 1458).  Dan mayat itu tidak dimandikan kecuali dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan, sehingga air kapus dan sidr itu hukumnya termasuk yang suci dan mensucikan. Sedangkan tentang air yang tercampur dengan tepung, ada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Hani`.  Dari Ummu Hani` bahwa Rasulullah SAW mandi bersama Maimunah ra dari satu wadah yang sama, tempat yang merupakan sisa dari tepung. (HR. Nasai 240, Ibnu Khuzaimah 240)  Namun jika air suci bercampur dengan sesuatu yang suci berupa bubuk kopi atau sirup, maka ketika itu tidak boleh dipakai bersuci, karena ia bukan lagi disebut "air", tapi disebut "kopi" atau "sirup". Demikian pula, parfum yang diperas dari bunga-bunga, tidak bisa dipakai bersuci, karena ia bukan disebut "air", sekalipun nampak cair seperti air.  Al-Imam Muwaffaquddin Abdullah bin Ahmad Ash-Sholihiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Mughni (1/20) ketika menjelaskan air yang berubah sehingga tidak bisa dipakai lagi bersuci, "Ini ada tiga jenis. Pertama, sesuatu yang diperas dari sesuatu yang suci, seperti air bunga, air cengkeh, sesuatu yang menetes dari akar pohon, jika dipotong dalam keadaan basah. Kedua, air yang bercampur dengan sesuatu yang suci, dan lebih dominan dibandingkan bagian-bagian air sehingga ia menjadi celupan atau tinta, atau cuka, atau kuah, dan sejenisnya. Ketiga, air yang dimasak bersama dengan sesuatu yang suci, lalu air itu berubah (sifatnya), seperti kuah kacang yang dididihkan".    4. AIR YANG TERCAMPUR DENGAN BARANG YANG NAJIS  Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua kemungkinan hukum. Yaitu antara air itu berubah dan tidak berubah setelah tercampur benda yang najis. Kriteria perubahan terletak pada rasa, warna atau bau / aromanya.  a. Bila Berubah Rasa, Warna atau Aromanya Bila berubah rasa, warna atau aromanya ketika sejumlah air terkena atau kemasukan barang najis, maka hukum air itu itu menjadi najis juga. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Munzir dan Ibnul Mulaqqin.  b. Bila Tidak Berubah Rasa, Warna atau Aromanya Sebaliknya bila ketiga krieteria di atas tidak berubah, maka hukum air itu suci dan mensucikan. Baik air itu sedikit atau pun banyak. Dalilnya adalah hadits tentang arab badui (arabi) yang kencing di dalam masjid :  Dari Abi Hurairah ra bahwa seorang a`rabi telah masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah SAW bersbda,`biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air. Sesungguhnya kalian dibangkitkan untuk memudahkan dan bukan untuk menyusahkan.(HR. Bukhari 220, Abu Daud 380, Tirmizy 147 An-Nasai 56 Ibnu Majah 529).  Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budho`ah ?. Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35).  Sumur Budha`ah adalah nama sebuah sumur di kota Madinah yang airnya digunakan orang untuk mandi yaitu wanita yang haidh dan nifas serta istinja`. Diriwayat lain bahkan ditambahkan tempat dibuangnya bangkai, namun tentu tidak mengubah rasa, warna dan aroma air.





























Materi 3: AS-SURU
As-Su`ru adalah sisa yang tertinggal pada sebuah wadah air setelah seseorang atau hewan meminumnya. Dalam masalah fiqih, hal ini menjadi persoalan tersendiri, sebab air itu tercampur dengan ludah hewan tersebut, sementara hewan itu boleh jadi termasuk di antara hewan yang air liurnya najis.   1. HUKUM SU`RU MANUSIA  Manusia itu tidak najis, baik manusia itu laki-laki atau wanita. Termasuk juga wanita yang sedang mendapatkan haidh, nifas atau isithadhah. Juga orang yang sedang dalam keadaan junub karena mimpi, mengeluarkan mani atau sehabis melakukan hubungan seksual. Sebab pada dasarnya manusia itu suci. Dasar kesucian tubuh orang yang sedang junub atau haidh adalah hadits berikut ini :  Dari aisyah ra berkata,`Aku minum dalam keadaan haidh lalu aku sodorkan minumku itu kepada Rasulullah SAW. Beliau meletakkan mulutnya pada bekas mulutku. (HR. Muslim )  Begitu juga hukumnya orang kafir, sisa minumnya itu tetap suci dan tidak merupakan najis. Sebab tubuh orang kafir itu tetap suci meski dia tidak beriman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.  Kalau pun ada ungkapan bahwa orang kafir itu najis, maka yang dimaksud dengan najis adalah secara maknawi, bukan secara zhahir atau jasadi. Seringkali orang salah mengerti dalam memahami ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini :  Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis , maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini . Dan jika kamu khawatir menjadi miskin , maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah : 28)  Dahulu orang-orang kafir yang datang kepada Rasulullah SAW bercampur baur dengan umat Islam. Bahkan ada yang masuk ke dalam masjid. Namun Rasulullah SAW tidak pernah diriwayatkan memerintahkan untuk membersihkan bekas sisa orang kafir.  Juga ada hadits Abu Bakar berikut ini :  Rasulullah SAW diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian, lalu disodorkan sisanya itu kepada a`rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya, lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata,`Ke kanan dan ke kanan`. (HR. Bukhari)  Kecuali bila manusia itu baru saja meminum khamar, maka hukum ludah atau su`runya mejadi haram.  2. HUKUM SU`RU HEWAN  Hukum su`ru hewan atau air yang telah kemasukkan moncong hewan, sangat tergantung dari hukum hewan itu, apakah hewan itu najis atau tidak. Para ulama lantas membedakannya sesuai dengan kriteria itu.   a. Su`ru Hewan Yang Halal Dagingnya  Bila hewan itu halal dagingnya maka su`ru nya pun halal juga atau tidak menjadikan najis. Sebab ludahnya timbul dari dagingnya yang halal. Maka hukumnya mengikuti hukum dagingnya.  Abu Bakar bin Al-Munzir menyebutkan bahwa para ahli ilmu telah sepakat tentang hal ini. Air yang bekas diminum oleh hewan yang halal dagingnya boleh digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau memberishkan najis.   b. Su`ru Anjing dan Babi  Anjing dan babi adalah hewan yang najis bahkan termasuk najsi mughallazhah atau najis yang berat. Sehingga secara otomatis suru anjing dan babi adalah najis. Dalil mengenai najisnya suru anjing: Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali". Dan menurut riwayat Ahmad dan Muslim disebutkan salahsatunya dengan tanah". (HR. Muslim) Sedangkan najisnya babi sudah jelas disebutkan di dalam Al-Quran Al-Kariem  Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disebut selain Allah . Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah : 173)   c. Su`ru Kucing  Hukum kucing itu sendiri berbeda-beda dalam pandangan ulama. Sebagian mengatakan najis dan sebagiannya lagi mengatakan tidak. At-Thahawi mengatakan bahwa kucing itu najis karena dagingnya najis bagi kita. Dan karena itu pula maka ludahnya atau sisa minumnya pun hukumnya najis. Sebab dagingnya pun najis.  Namun meski demikian, karena ada dalil yang secara khusus menyebutkan bahwa sisa minum kucing itu tidak najis, maka ketentuan umum itu menjadi tidak berlaku, yaitu ketentuan bahwa semua yang dagingnya najis maka ludahnya pun najis. Minimal khusus untuk kucing.  Dalil yang menyebutkan tidak najisnya ludah kucing itu adalah hadits berikut ini : Dari Kabsyah binti Ka`ab bahwa beliau melihat Aba Qatadah memberikan minum kepada kucing. Abu Qatadah berkata,`Mengapa kamu heran wahai anak saudaraku ?. Dia menjawanb,:`Ya`. Abu Qatadah berkata lagi bahwa Rasulullah SAW bersabda,`(Kucing) itu tidak najis, sebab kucing itu termasuk yang berkeliaran di tengah kita. (HR. Abu Daud).  Sedangkan Al-Kharkhi dan Abu Yusuf bahwa su`ru kucing itu hukumnya makruh. Alasannya adalah bahwa kucing itu sering menelan atau memakan tikus yang tentu saja mengakibatkan su`runya saat itu menjadi najis. Dalam hal ini Abu Hanifah pun sependapat bahwa kucing yang baru saja memakan tikus, maka surunya najis. Sedangkan bila tidak langsung atau ada jeda waktu tertentu, maka tidak najis.  Hal ini sesuai dengan hukum su`ru manusia yang baru saja meminum khamar, maka ludahnya saat itu menjadi najis.   d. Su`ru Keledai dan Bagal  Bila sesekor keledai atau bagal minum dari suatu air, maka sisa air itu hukumnya masykuk antara halal atau tidak halal untuk digunakan wudhu dan mandi. Sebab ada beberapa dalil yang saling bertentangan sehingga melahirkan khilaf di kalangan para ulama.  Yang mengharamkan su`ru kedua jenis hewan ini berdasarkan ketentuan bahwa bila daging seekor hewan itu najis, maka ludahnya pun ikut menjadi najis. Para ulama mengatakan bahwa daging keledai dan bagal itu najis, maka kesimpulannya mereka yang menajiskan suru kedua hewan ini adalah najis.  Sebaliknya, ada pula yang tidak menajiskannya dengan berdasarkan kepada hadits berikut ini :  Dari Jabir ra dari Rasulullah SAW bahwa beliau ditanya,`Bolehkah kami berwudhu denga air bekas minum keledai?. Rasulullah SAW menajawab,`Ya boleh,`. (HR. Ad-Daruquthuny 173, Al-Baihaqi 1/329).   3. PERBEDAN PENDAPAT DI KALANGAN FUQAHA (AHLI FIQIH) Para Fuqaha besar berbeda pendapat dalam masalah hukum su`ru hewan. Diantaranya adalah pendapat berikut ini :   a. Imam Abu Hanifah :  Pendapat beliau terhadap masalah su`ru hewan ini terbagi menjadi empat besar sesuai dengan jenis hewan tersebut, sebagaimana yang dibahas di atas  b. Imam Malik  Sebaliknya, Al-Imam Malik justru mengatakan bahwa hukum su`ru semua jenis hewan itu halal. Tidak pandang apakah hewan itu najis atau tidak.  Sebab beliau berpendapat bahwa untuk menajiskan su`ru itu harus ada dalil yang kuat dan sharih (jelas, tegas), tidak bisa sekedar mengikuti dagingnya yang bila dagingnya halal lalu ludahnya ikut halal atau bila dagingnya haram ludahnya ikut haram. Menurut beliau, kaidah seperti ini tidak bisa dijadikan dasar untuk mengharamkan atau menghalalkan sesuatu.   c. Imam Asy-Syafi`i  Beliau berpendapat bahwa semua jenis su`ru hewan itu halal, kecuali hanya su`ru anjing dan babi saja yang haram.  Dalil yang digunakan oleh mazhab beliau adalah bahwa pada dasarnya Islam tidak memberatkan para pemeluknya. Kecuali bila benar-benar sharih dan kuat dalilnya berdasarkan Al-Quran Al-Kariem dan sunnah. Sebab Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran Al-Kariem :  Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Maidah : 6) 















Materi 4 : AN-NAJASAH
1. PENGERTIAN AN-NAJASAH An-Najasah sering dimaknai dengan najis dalam bahasa Indonesia. Meski pun secara bahasa Arab tidak identik maknanya. Najis sendiri dalam bahasa Arab ada dua penyebutannya.  Pertama : Najas, maknanya adalah benda yang hukumnya najis.  Kedua : Najis, yang maknanya adalah sifat najisnya.  An-Najasah (najis) adalah lawan dari Thaharah yang maknanya kesucian.  2. PEMBAGIAN NAJASAH  Para ulama telah membagi najis itu menjadi sekian jenis kelompok. Ada yang mengelompokkannya berdasarkan hukum dan hakikat. Ada juga yang membaginya berdasarkan levelnya antara berat, ringan dan sedang. Ada juga yang membaginya berdasarkan wujudnya yang cair atau padat. Dan juga ada yang membaginya berdasarkan yang terlihat dan tidak terlihat.  Di sini kita hanya membahas dua dasar pembagian saja yaitu :   BERDASARKAN HAKIKATNYA  Berdasarkan hakikatnya, najis dapat dibedakan menjadi dua : Najis Hakiki dan Najis Hukmi.  NAJIS HAKIKI adalah najis yang selama ini kita pahami, yaitu najis yang berbentuk benda yang hukumnya najis. Jadi bentuknya kongkit, bisa dilihat. Misalnya darah, kencing, tahi (kotoran manusia), daging babi. Dalam bab tentang najasah, najis jenis inilah yang dimaksud.  Sementara NAJIS HUKMI itu maksudnya adalah hadats yang dialami oleh seseorang. Hadats bisa kita artikan dengan kondisi di mana seseorang tidak dalam keadaan suci menurut ketentuan syara. Hadats bersifat abstrak (tidak dapat dilihat).   Hadats ini terbagi dua:  HADATS KECIL, yaitu keadaan tidak suci menurut ketentuan syara disebabkan keluarnya sesuatu (selain sperma, darah haid, dan nifas) dari qubul (kemaluan) dan dubur (anus), misalnya buang angin, buang air kecil dan buang air besar. Juga termasuk dalam hadats kecil adalah apabila hilang akal dan tidur nyenyak. Cara mensucikannya dengan wudlu atau tayammum bila tidak ada air.  HADATS BESAR, yaitu keadaan tidak suci menurut ketentuan syara disebabkan keluarnya sperma, darah haid, dan nifas. Cara mensucikannya yaitu dengan mandi wajib atau tayammum bila tidak ada air  BERDASARKAN BERAT, RINGANNYA NAJIS  Berdasarkan ini najis dibagi atas tiga, yaitu: 1. Najis Mukhoffafah (ringan), seperti air kencing bayi laki-laki yang berusia kurang dari 2 tahun dan belum makan apa-apa selain ASI. Cara mensucikan najisnya adalah cukup dengan memerciki air pada tempat yang terkena najis.  2. Najis Mutawasithoh (sedang), seperti kotoran manusia, kotoran hewan, darah, nanah, bangkai. Cara mensucikannya yaitu dibasuh atau dicuci dengan air sampai hilang wujud, bau, warna, maupun rasanya.  3. Najis Mugholazah (berat), seperti air liur, kotoran anjing dan babi yang mengenai badan, pakaian, atau tempat. Cara mensucikannya yaitu dicuci sampai tujuh kali dengan air dan salah satu di antaranya dicampur dengan tanah, tanah liat atau debu yang suci.

3. BENDA YANG KENAJISANNYA DISEPAKATI ULAMA a. Daging Babi  Meskipun nash dalam Al-Quran Al-Kariem selalu menyebut keharaman daging babi, namun kenajisannya bukan terbatas pada dagingnya saja, namun termasuk juga darahnya, tulangnya, lemaknya, kotorannya dan semua bagian dari tubuhnya.  "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disebut selain Allah . Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(QS. Al-baqarah : 173)  b. Darah  Darah manusia dan binatang itu najis hukumnya, yaitu darah yang mengalir keluar dalam jumlah yang besar dari dalam tubuh. Maka hati, jantung dan limpa tidak termasuk najis, karena bukan berbentuk darah yang mengalir. Sedangkan hewan air (laut) yang keluar darah dari tubuhnya secara banyak tidak najis karena ikan itu hukumnya tidak najis meski sudah mati. Sedangkan darah yang mengalir dari tubuh muslim yang mati syahid juga tidak termasuk najis.  c. Air Kencing Manusia, Muntah dan Kotorannya.  Kenajisan ketiga benda ini telah disepakati oleh para ulama. Kecuali bila muntah dalam jumlah yang sangat sedikit. Dan juga air kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun kecuali susu ibunya. Dalilnya adalah hadits berikut ini "Dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Kencing bayi laki-laki itu cukup dengan memercikkanya saja. Sedangkan kencing bayi wanita harus dicuci". Qatadah berkata,"Dan ini bila belum makan apa-apa, tapi bila sudah makan makanan, maka harus dicuci". (HR. Tirmizi dan beliau menshahihkannya).   d. Nanah Nanah adalah najis dan bila seseorang terkena nanah, harus dicuci bekas nanahnya sebelum boleh untuk melakukan ibadah yang mensyaratkan kesucian (wudhu` atau mandi).  e. Mazi dan Wadi Mazi adalah cairan bening yang keluar akibat percumbuan atau hayalan, keluar dari kemaluan laki-laki biasa. Mazi itu bening dan biasa keluar sesaat sebelum mani keluar. Dan keluarnya tidak deras / tidak memancar. Mazi berbeda dengan mani, yaitu bahwa keluarnya mani diiringi dengan lazzah atau kenikmatan (ejakulasi/orgasme) sedangkan mazi tidak. Wadi adalah cairan yang kental berwarna putih yang keluar akibat efek dari air kencing.  f. Bangkai Hewan Hewan yang mati menjadi bangkai hukumnya najis, sehingga badan, pakaian atau tempat shalat yang terkena bangkai hewan harus disucikan. Untuk mensucikannya bisa dilakukan dengan mencucinya dengan air hingga hilang bau, warna dan rasanya. Dalam Al-Quran Al-Kariem Allah SWT berfirman tentang hukum bangkai. Dalilnya sama dengan dalil babi di atas (QS. Al-Baqarah : 173)  g. Daging dan Susu Hewan Yang Haram Dagingnya Para ulama sepakat mengatakan bahwa susu hewan itu haram selama dagingnya haram. Misalnya susu anjing itu hukumnya haram, karena daging anjing juga haram. Demikian juga susu hewan buas (pemakan hewan/carnivora) lainnya, susunya menjadi haram lantaran dagingnya haram dimakan.  h. Potongan Tubuh Dari Hewan Yang Masih Hidup Anggota tubuh hewan yang terlepas atau terpotong dari tubuhnya termasuk benda najis dan haram hukumnya untuk dimakan.  4. BENDA YANG KENAJISANNYA TIDAK DISEPAKATI ULAMA a. Khamar  Meski jumhur ulama mengatakan bahwa khamar itu hukumnya najis, namun ada sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa khamar bukan termasuk najis. Sedangkan istilah najis yang ada dalam ayat Al-Quran Al-Kariem tentang khamar, bukanlah bermakna najis hakiki, melainkan najis secara maknawi. "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan".(QS. Al-Maidah : 90) Makanya, ada ulama yang mengharamkan pemakaian parfum yang beralkohol, namun ada juga yang membolehkannya.  b. Anjing Sebagian ulama menghukumi anjing sebagai hewan yang najis berat (mughallazhoh), bukan hanya air liurnya saja, tetapi juga seluruh tubuhnya. Namun ada sebagian ulama yang tidak menghukumi najis anjing pada badannya, kecuali hanya air liur dan dagingnya saja sebagai najis berat.  Lebih dalam tentang bagaimana perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kenajisan anjing ini, kita bedah satu persatu sesuai apa yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih rujukan utama. 1. Mazhab Al-Hanafiyah Dalam mazhab ini, yang najis dari anjing hanyalah air liurnya, mulutnya dan kotorannya. Sedangkan tubuh dan bagian lainnya tidak dianggap najis. Kedudukannya sebagaimana hewan yang lainnya, bahkan umumnya anjing bermanfaat banyak buat manusia. Misalnya sebagai hewan penjaga atau pun hewan untuk berburu. Mengapa demikian ? Sebab dalam hadits tentang najisnya anjing, yang ditetapkan sebagai najis hanya bila anjing itu minum di suatu wadah air. Maka hanya bagian mulut dan air liurnya saja (termasuk kotorannya) yang dianggap najis. Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Bila anjing minum dari wadah air milikmu, harus dicuci tujuh kali.(HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah SAW bersabda,"Sucinya wadah minummu yang telah diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.(HR. Muslim dan Ahmad) Lihat kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 64, kitab Al-Badai` jilid 1 halaman 63.  2. Mazhab Al-Malikiyah Mazhab ini juga mengatakan bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Bila air liur anjing jatuh masuk ke dalam wadah air, wajiblah dicuci tujuh kali sebagai bentuk ritual pensuciannya. Silahkan periksa kitab Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 83 dan As-Syarhus-Shaghir jilid 1 halaman 43. 3. Mazhab As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah Kedua mazhab ini sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat, termasuk keringatnya. Bahkan hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah. Logika yang digunakan oleh mazhab ini adalah tidak mungkin kita hanya mengatakan bahwa yang najis dari anjing hanya mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya. Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu juga, baik kencing, kotoran dan juga keringatnya. Pendapat tentang najisnya seluruh tubuh anjing ini juga dikuatkan dengan hadits lainnya antara lain : "Bahwa Rasululah SAW diundang masuk ke rumah salah seorang kaum dan beliau mendatangi undangan itu. Di kala lainya, kaum yang lain mengundangnya dan beliau tidak mendatanginya. Ketika ditanyakan kepada beliau apa sebabnya beliau tidak mendatangi undangan yang kedua, beliau bersabda,"Di rumah yang kedua ada anjing sedangkan di rumah yang pertama hanya ada kucing. Dan kucing itu itu tidak najis". (HR. Al-Hakim dan Ad-Daruquthuny). Dari hadits ini bisa dipahami bahwa kucing itu tidak najis, sedangkan anjing itu najis. Lihat kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 78, kitab Kasy-syaaf Al-Qanna`jilid 1 halaman 208 dan kitab Al-Mughni jilid 1 halaman 52.  c. Mani Air mani yang keluar dari kemaluan seseorang sesungguhnya bukan benda najis. Air mani adalah satu pengecualian dari ketentuan bahwa segala benda yang keluar lewat kemaluan hukumnya najis. Baik berbentuk padat, cair atau gas. Air kencing, mazi, wadi, darah, nanah, batu dan semua yang keluar lewat kemaluan ditetapkan para ulama sebagai benda najis. Kecuali air mani, hukumnya bukan najis. Dalil dari tidak najisnya air mani ada banyak, di antaranya adalah hadits berikut ini : Dari Aisyah ra berkata,"Aku mengerok mani dari pakaian Rasulullah SAW dan beliau memakainya untuk shalat. Dalam riwayat lain disebutkan,"Aku menggaruk dengan kuku-ku mani yang kering dari pakaian beliau. (HR. Muslim) Dengan hadits ini, para ulama umumnya mengatakan bahwa air mani itu tidak najis. Tindakan Aisyah istri beliau mengerok atau menggaruk dengan kuku sisa mani yang sudah mengering di pakaian beliau menunjukkan bahwa air mani tidak najis. Sebab kalau najis, maka seharusnya Aisyah ra mencucinya dengan air hingga hilang warna, aroma atau rasanya. Tindakan Aisyah menurut sebagian ulama dilatar-belakangi rasa malu beliau melihat Rasulullah SAW, suaminya, shalat dengan pakaian yang belepotan sisa mani. Maka dikeriknya setelah kering agar tidak terlihat nyata, meski sesungguhnya tetap masih ada sisa mani kering yang menempel. Namun sebagian kecil ulama memang ada yang mengatakan bahwa air mani itu najis. Misalnya pendapat Al-Hanafiyah, Malik, Ahmad pada sebagian riwayat dan Al-Hadawiyah. Di antara dasar yang melandaskan pendapat mereka adalah hadits berikut ini : Aisyah ra. mengatakan, Biasa Rasulullah SAW. mencuci mani kemudian keluar shalat memakai sarung itu dan saya melihat bekasnya cucian sarung itu (HR Bukhari dan Muslim) Tindakan Rasulullah SAW mencuci bekas mani di pakaiannya menunjukkan bahwa mani itu najis. Namun pendapat ini dibantah oleh para ulama yang mengatakan bahwa air mani tidak najis dengan beberapa jawaban. Antara lain : 1. Hadits ini meski secara riwayatnya shahih, namun tidak menunjukkan kewajiban untuk mencuci bekas mani yang menempel di pakaian. Tetapi hanya menunjukkan keutamaan untuk mencucinya dan hukumnya hanya sunnah. 2. Kalau ada beberapa hadits yang bertentangan secara lahir, padahal masing-masing punya sandaran yang kuat, maka sebelum menafikan salah satunya, harus dicarikan dulu kesesuaian antara dalil-dalil itu. Dan menyimpulkan bahwa mani tidak najis adalah bentuk kompromi atas semua dalil yang ada. Sedangkan tindakan nabi yang mencuci bekas mani, harus dipahami bukan sebagai keharusan, melainkan kepantasan dan kesunnahan. 3. Meski pun Al-Hanafiyah mengatakan bahwa air mani itu najis, namun mereka berpendapat bahwa untuk mensucikan bekas mani cukup dengan mengeriknya setelah kering, tidak perlu dicuci.  Dan masih banyak lagi benda-benda yang kenajiasannya tidak disepakati para ulama. Misalnya bangkai hewan air atau tidak punya darah, potongan tubuh hewan yang tidak punya darah, kulit bangkai, air kencing bayi, air kencing dan susu hewan yang halal dagingnya, air mani (sperma), mayat manusia, liur orang tidur, dan seterusnya

4. NAJIS-NAJIS YANG DIMAAFKAN Najis-najis yang dimaafkan adalah benda yang pada hakikatnya najis atau terkena najis, namun karena kadarnya sangat sedikit / kecil, sehingga dimaafkan. Secara umum, bahwa termasuk ke dalam najis yang dimaafkan adalah najis yang padat (bukan cair)yang hanya sedikit sekali yaitu hanya selebar uang dirham (3,17 gram) atau setara 20 qirath. Sedangkan untuk najis yang berbentuk cair, seluas lebar tapak tangan saja. Namun dalam pandangan mereka, meski najis itu dimaafkan, tetap saja haram melakukan shalat bila badan, pakaian atau tempatnya terkena najis yang dimaafkan  a. Mazhab Al-Hanafiyah Mereka juga mengatakan bahwa yang termasuk najis yang dimaafkan adalah beberapa tetes air kencing kucing atau tikus yang jatuh ke dalam makanan atau pakaian karena darurat. Juga akibat percikan najis yang tak terlihat oleh mata telanjang.  b. Mazhab Malik mengatakan bahwa yang termasuk najis yang dimaafkan adalah darah manusia atau hewan darat yang sangat sedikti jumlahnya, juga nanah dan muntah yang sedikit. Kira-kira selebar titik hitam pada uang dirham. Baik najis itu berasal dari dirinya atau dari orang lain, termasuk dari hewan. Bahkan termasuk darah dari babi. Juga air kencing yang sedikit sekali yang keluar tanpa mampu dijaga karena penyakit, termasuk di dalamnya adalah air mazi, mani dan yang keluar dari anus. Juga air kencing anak kecil dan kotorannya buat ibu yang sedang menyusuinya, karena nyaris mustahul tidak terkena sama sekali dari najis yang mungkin hanya berupa percikan atau sisa-sisa yang tak nampak.  c. Mazhab Syafi`i dan Hanbali dalam masalah najis yang dimaafkan ini nampak lebih keras, sebab yang dimaafkan bagi mereka hanyalah yang tidak nampak di mata saja. Atau darah nyamuk, kutu, bangsat atau serangga lain yang tidak punya darah cair. Juga sisa bekas berbekam (hijamah), bekas lalat, dan lainnya.  Kesimpulannya, najis yang dimaafkan : 1. Najis yang tidak dapat dilihat oleh pandangan sederhana seperti darah yang sedikit dan percikan air kencing. 2. Darah jerawat, darah bisul, darah kudis atau kurap dan nanah. 3. Darah binatang yang tidak mengalir darahnya seperti kutu, nyamuk, agas dan pijat. 4. Tempat berbekam, najis lalat, kencing tidak lawas, darah istihadhah, air kurap atau kudis.  * * *  CONTOH KASUS  (sumber : www.Syariahonline.com)  Tanya : Najis ketika shalat Jika sementara shalat wajib dan kita mengetahui ada najis di badan kita. maka apa yang harus kita lakukan dan apa landasannya?  Jawab : Siapa yang melaksanakan shalat sementara ia mengetahui bahwa di badannya terdapat najis, entah sudah ada sebelum shalat atau ketika shalat, maka shalatnya batal karena kesucian badan, tempat, dan pakaian merupakan syarat sahnya salat.  Namun, jika ia lupa atau tidak mengetahuinya sampai shalatnya selesai, maka menurut Syeikh Utsaymin shalatnya sah dan tak perlu mengulang. Dalilnya bahwa Nabi saw pernah melaksanakan shalat berjamaah dengan para sahabat lalu beliau mencopot sendalnya lantaran menerima informasi dari Jibril bahwa ada najis padanya. Beliau meneruskan tanpa mengulang shalat dari awal.  Tanya : Najis Jilatan Anjing Saya ingin menanyakan tentang najis dari jilatan anjing.  1. bila terjilat oleh anjing, wajibkah kita harus bersuci?? kalau dengan air dan sabun bolehkah??  2. harusklah kita bersuci dari najis, bila hanya terkena lendir dari hidung anjing?? sampai mana batas najis dari anjing??  3. adakah hukumaan (dosa) bila kita sering berkunjung kerumah temen yang memelihara anjing??  Jawab: Masalah najisnya anjin dan bekas mulutnya telah secara zhir disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah SAW. Salah satunya adalah hadits berikut :   Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,�Sucinya wadah milik kalian bila diminum / kemasukan mulut aanjing adalah dengan mencucinya 7 kali salah satunya dengan tanah. (HR. Muslim )   Memang di dalam zahir hadits itu yang disebutkan adalah kenajisan mulut anjing saja atau ludahnya. Namun para ulama menyertakan juga tubuh dan bagian tubuh anjing yang lainnya karena semua itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari anjing.   Sedangkan ketentuan bahwa cara mensucikannya haruslah dengan mencucinya 7 kali dan salah satunya dengan tanah, adalah bersifat ta`bbudi atau bersifat ritual / seremonial. Dimana kita tidak perlu repot-repot mencari hikmah atau rahasia mengapa harus 7 kali dan mengapa harus dengan tanah. Karena itu adalah ritual Islam. Sesuatu yang bersifat rutual itu biasanya merupakan tatacara yang sudah dari sononya demikian. Sebagaimana kita tidak usah terlalu dipusingkan dengan pertanyaan kenapa shalat shubuh 2 rakaat dan maghrib 3 rakaat. Karena semua itu bersifat ta`abbudi.   Karena kalau urusan mencuci najis anjing itu mesti harus diterangkan secara ilmiyah, maka pastilah akan terjadi sekian banyak perdebatan berikutnya, baik tentang zat apa dalam ludah anjing itu yang harus hilang, atau di dalam tanah itu ada zat apa sehingga bisa menghilangkan najis anjing. Lalu apa hubungan antara mencuci 7 kali dengan sekian kali pencucian dan seterusnya. Padahal semua itu adalah sebuah perintah dari langit kepada kita melalui Rasulullah SAW. Buat kita cukuplah menjalankannya sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.   Urusan rahasia dan hikmah itu urusan para ahli biologi atau hali kimia. Tapi yang jelas, apapun hasil penelitian mereka, itulah ritual agama dari Yang Maha Mengetahui.   Khusus mengenai hukum memelihara anjing atau bertandang ke rumah orang yang memelihara anjing, memang ada hukum yang harus diperhatikan. Antara lain : 
* Yang dibolehkan untuk dipelihara adalah anjing untuk berburu atau anjing penjaga pagar halaman, dimana anjing itu tidak mengotori rumah atau tidak masuk ke dalam rumah. Karena malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang ada anjingnya. 
* Pemiliknya harus tahu hukum bergaul dengan anjing termasuk tentang masalah najis ludah dan tubuhnya. Agar dia tidak berlimang dengan kenajisan seterusnya. 
* Biaya untuk memelihara anjing terutama yang kelas mahal harus juga disesuaikan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan. Jangan sampai untuk sekedar hobi, seseorang rela mengeluarkan biaya jutaan rupiah per bulannya untuk seekor anak anjing, sementara seorang guru di ujung gunung sana masih harus mengais rejeki menghidupi istri dan sekian banyak anaknya hanya dengan gaji serauts dua ratus ribu per bulannya. Ini jelas sangat menggugah rasa keadilan dan kemanusiaan kita.   Tanya : bekas kencing Ustadz bagaimana hukumnya pakaian yang kena cipratan air kencing sampai basah kemudian dibiarkan kering sendiri dengan dijemur dan tidak dibasuh air, apakah pakaian tersebut menjadi suci setelah kering atau tetap najis?  Jawab: Najis dapat disucikan dengan air atau yang lainnya. Benda yang terkena najis bisa dikatakan suci lagi bila zat najisnya telah hilang, baik dengan air atau dengan matahari atau yang lainnya. Untuk mengetahui hilang atau tidaknya najis tersebut dilihat dengan ada atau tidak adanya sifat-sifat najis yang mencakup bau, rasa dan warnanya. Apabila ini semua telah hilang dari baju atau yang lainnya maka telah suci. Jadi pakaian yang saudara tanyakan tersebut dapat dihukumi suci bila telah hilang semua sifat-sifat kencing tersebut.  Tanya : Bekas Ompol assalamualaikum saya mempunyai bayi perempuan 1 tahun kencingnya kadang bertebaran di mana-mana termasuk di karpet, lantai. kadang kami tidak sempat mengelapnya hingga air kencing tsb mengering. bila terinjak sahkah wudlu kami ? syukran  Jawab : Kencing anak kecil yang terdapat di karpet atau tempat yang lainnya, jika telah mengering dan terinjak oleh orang yang telah berwudhu, maka wudhunya tersebut tetap sah dan tidak perlu mengulanginya lagi. Tetapi ia diperintahkan untuk mecuci kembali kaki tersebut sebelum melaksanakan shalat jika ketika menginjak, kakinya dalam keadaan basah. Tetapi jika kakinya sudah dalam keadaan kering, maka tidak perlu mencucinya lagi, karena najis yang berada di karpet tidak akan berpengaruh lagi atau tidak mungkin menempel.  Tanya : Kotoran Hewan yang Halal dimakan Apakah Najis? Satu waktu saya pernah berdiskusi dengan rekan saya tentang thoharoh. Dia menganut pemahaman, bahwa anggota badan terkena kotoran binatang (terlepas binatang itu halal atau haram dimakan), terkecuali kotoran manusia (itu jelas najis), dan bahkan bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim pun (kecuali bersenggama), TIDAKMEMBATALKAN WUDHLU. Sementara saya berpemahaman berlwanan darinya. Mohon dipaparkan, penjelasan mana yang paling mendekati ke-shahihan ! Mohon juga disertakan dalil/nash (naqli dan aqli) sebagai bahan komparatif dari pemahaman yang ada ! Betulkah kotoran binatang yang halal dimakan tidak najis ? Terima kasih.  Jawab:  Memang para ulama terdahulu berbeda pendapat tentang benda apa saja yang dikategorikan najis. Mereka juga sudah berbeda pendapat sejak dahulu tentang masalah apakah sentuhan kulit antara non mahram itu membatalkan wudhu atau tidak. Jadi ini adalah masalah klasik sekali yang hingga kini masih saja sering diperdebatkan. Apakah Anda ingin tahu bagaimana dahulu para ulama bisa sampai kepada kesimpulan yang berbeda dalam memandang dua hal tersebut ? Berikut ini adalah rinciannya.  Pendapat Pertama : Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah  Mereka berdua berpendapat bahwa kotoran hewan dan air kencingnya semuanya najis tanpa pilih-pilih. Mereka tidak membedakan apakah hewan itu termasuk jenis yang halal dimakan dagingnya atau tidak. Namun fuqaha Al-Hanafiyah memberikan persyaratan, yaitu kotoran binatang yang halal dimakan menjadi najis bila binatang itu memakan sesuatu yang najis atau meminumnya. Mereka mengatakan bahwa semuya jenis kotoran dan air kencing baik manusia maupun hewan adalah najis. Dalil yang mereka gunakan adalah Rasulullah SAW memerintahkan untuk menyiram bekas kencingnya seorang arab kampung yang kencing di masjid. Selain itu beliau juga telah bersabda : Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,Bersucilah dari kencing (HR. Bukhari dan Muslim). Ketika Rasulullah SAW dibawakan dua batu dan satu lagi kotoran hewan untuk istinja`, maka beliau berkata,Kotoran hewan ini riksun (najis).  Pendapat Kedua  Ada lagi yang berpandangan sebaliknya, yaitu semua jenis kotoran hewan dan air kencingnya adalah tidak najis, apapun hewannya.  Pendapat Ketiga : Al-Malikiyah  Ini adalah pendapat yang ada diantara keduanya. Mereka membedakan apakah hewan itu halal dimakan dagingnya atau tidak. Bila dagingnya halal dimakan, maka kotoran dan air kencingnya tidak najis. Sebaliknya, bila dagingnya haram dimakan, maka kotoran dan air kencingnya najis. Sebenarnya dalil yang mereka gunakan hampir sama dan mirip, bedanya adalah pada bagaimana cara mereka memahami dan mengistimbath dalil-dalil yang sama itu. Semuanya berpulang kepada dua hadits berikut : Dari Jabir bin Samurah ra bahwa seorang bertanya kepada Rasulullah SAW,Bolehkah aku shalat di kandang kambing ?. Beliau menjawab,Boleh. Bolehkah aku shala di kandang unta?. Beliau menjawab,Tidak boleh. (HR. Muslim 1:275, Ibnu Majah 1:166, Ahmad 5:86). Rasulullah SAW bersabda,Shalatlah di kandang kambing tapi jangan shalat di kandang unta. (HR. Ahmad dan Tirmizy) Lihat kitab As-Syarhu As-Shaghir 1/47, Bidayatul Mujtahid 1/77, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah 33, dan Kasysyaf Al-Qanna` 1/220. Hadits lainnya adalah tentang peristiwa dimana Rasulullah SAW membolehkan orang dari Uraniyyin untuk minum air kencing unta dan air susunya. Dari Anas Bin Malik bahwa ada seorang dari `Ukl atau `Urainah datang dan meninggalkan Madinah, ...lalu mereka meminum air kencing unta dan susunya. (HR. Bukhari dan Muslim) Oleh kalangan Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah, hadits yang menceritakan ada orang dari Ukl atau Urainah yang meminum air kencing unta adalah karena suatu sebab yaitu untuk berobat. Sehingga kebolehannya adalah karena sifat darurat. Tidak mutlak berlaku untuk siapa saja.   Tanya : Keputihan apakah najis? Saya wanita berusia 22th, belakang ini, saya sering menderita suatu penyakit ( bisa dibilang keputihan ) sudah berkali-kali saya berobat ke dokter dan minum obat tradisional spt jamu/ ramuan tradisional akan tetapi kenapa tidak henti - hentinya cairan itu tetap keluar di saat mau sholat, ( dan saya sudah berkali-kali ganti pakaian " maaf "( pakaian dalam ) apakah sholat saya tidak syah???? apakan itu suatu najis atan penyebab hilangnya syarat wajib dan syarat syahnya sholat...saya harus bagaimana..???  Jawab : Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua. Saudari Syifa, keputihan itu termasuk najis. Karena itu, hendaknya setiap kali akan melaksanakan salat, hendaknya Anda memastikan terlebih dahulu bahwa diri dan pakaian Anda bersih darinya. Lalu, tutuplah dengan secarik kain. Jika sudah bersih, Anda bisa segera melaksanakan salat.Allah tidak membebani manusia dengan sesuatu yang di luar kemampuannya.Mudah-mudahan Allah menghilangkan penyakit Anda tersebut. 

Comments

Popular Posts